Maman S. Mahayana
Assalamualaikum w.w.
Yang mulai Bapak Gubernur DKI
Jakarta, Bapak Anies Baswedan
Yang mulia Bapak Mehrdad
Rakhshande, Atas Kebudayaan Republik Islam Iran
Yang mulia Bapak John Byron
Estrada, Perwakilan Kedubes Kolombia
Yang terhormat Bapak Prof
Dadang Sunendar, Kepala Badan Bahasa dan Perbukuan
Yang terhormat Bapak Ir.
Fakhruroji, Direktur Balai Pustaka
Yang terhormat Bapak Eko
wahyuanto, Kasubdit Prangko dan Filateli Kominfo
Yang terhormat Bapak Onni
Direktur Pos Regional IV Jakarta
Yang terhormat Ahli Waris
Pujangga Raja Ali Haji, Bapak Raja Malik
Yang terhormat Ahli Waris
Penyair fenomenal: Chairil Anwar, Ibu Evawani Chairil Anwar
Yang saya cintai, para guru
Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia, Abdul Hadi WM, peneroka
dunia sufi, Ridak K Liamsi, tunak Melayu, para penyair, sahabat, dan hamba
Allah, para penghidup bahasa Indonesia, serta para hadirin yang dimuliakan
Allah
Ass …
Terima kasih saya sampaikan
atas kehadiran Bapak/Ibu dalam acara
Puncak Perayaan Hari Puisi, sebuah acara yang kami sebut: Hari Raya Para
Penyair.
Seperti juga perayaan hari
puisi tahun-tahun sebelumnya, perayaan hari puisi ke-7 kali ini, kami mengusung
tema “Puisi sebagai Digniti dan Intelektualisme”. Penentuan tema ini didasari
pada pemikiran, bahwa puisi, sejak awalnya, bukanlah sekadar curahan hati atau
permainan bahasa yang lalu melahirkan bahasa figuratif yang berupa metafora,
simbolisme, analogi, personifikasi, atau majas lain, tetapi juga menjadikan
bahasa (Indonesia) kaya daya-ungkap, cerdas dalam mencipta kiasan, atau piawai
dalam melahirkan kata-kata bersayap. Di belakang itu, puisi juga menyimpan
informasi tentang pengetahuan dunia, pesan-pesan filosofis, dan menawarkan
gagasan tentang masa depan sebuah bangsa.
Puisi-puisi Hamzah Fansuri,
Raja Ali Haji atau para ulama besar kita, seperti Al-Banjari, Syekh Yusuf,
Al-Palimbangi, Al-Bantani yang ditulis dalam bahasa Melayu; dan para aulia yang
tawadu mengajari para santrinya di berbagai pesantren di Tanah Air melalui
nadhom –yang juga hakikatnya puisi, di dalamnya tersimpan pewartaan pengetahuan
tentang bahasa, sastra, sejarah, geografi, politik pemerintahan, astronomi,
sosiologi, perubatan, dan etika dalam kehidupan sosial-budaya. Bahkan juga
Kamasutra. Karya-karya mereka adalah bukti, bahwa bangsa di Nusantara ini sudah
sejak lama hidup dalam budaya literasi, sebuah peradaban yang mementingkan pemikiran
yang diekspresikan dalam aktivitas baca-tulis.
Para penyair pra-Indonesia, juga menyerap tradisi leluhur
budaya literasi dengan semangat coba memberi penyadaran tentang ikatan sentimen
kenusantaraan. Puisi-puisi (syair) mereka adalah bukti otentik tentang
bagaimana bahasa Melayu yang dipelihara dan dikembangkan Raja Ali Haji, pada
akhirnya terpilih sebagai bahasa Indonesia, dalam peristiwa Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928. Teks Sumpah Pemuda itulah yang dikatakan Sutardji Calzoum Bachri
sebagai puisi besar!
Para hadirin yang dimuliakan
Allah …
Perayaan Hari Puisi ke-7 kali ini juga ditandai peristiwa
istimewa, yaitu peluncuran seri Prangko Penyair. Untuk kali ini, pihak Kominfo
baru menyetujui dua penyair besar kita, yaitu Raja Ali Haji, Bapak Bahasa
Melayu, pemelihara dan penjaga marwah bahasa Melayu, dan Chairil Anwar, kreator
yang menjadikan bahasa Indonesia begitu trengginas, lincah, dinamis, luwes, dan
modern. Jadi, tepatlah bangsa ini memilih dua penyair—pejuang bahasa itu untuk
diabadikan dalam seri prangko.
Apa maknanya pengabadian kedua nama penyair itu dilakukan
oleh Kominfo sebagai representasi negara? Itulah apresiasi negara pada dunia
literasi. Lihat saja Iran. Bagaimana negara membangun Taman Makam Penyair di
Tabriz. Di sana, ada museum dan perpustakaan yang disulap jadi Taman Wisata.
Lihat juga Turki. Di sana, ada makam penyair besar Rumi di Konia. Setiap tahun di
makam itu diselenggarakan ajang pertemuan sastrawan, penyair, budayawan
se-Dunia. Apa maknanya bagi Turki? Rumi yang sesungguhnya penyair sufi agung
Persia, telah menyumbangkan “wisata religi” bagi kaum intelektual dunia. Satu
lagi perlu disebutkan di sana: Azerbaijan. Di pusat kota Azerbaijan, berdiri
megah patung Nizhomi, penyair besar lewat mahakaryanya, Laila Majnun. Patung itu tegak menghadap sebuah museum besar yang
di sekelilingnya berdiri patung dan foto para sastrawan. Itulah Museum Sastrawan,
dibangun di tengah kota Baku, ibukota Azerbaijan.
Apa yang terjadi kemudian bagi bangsa di ketiga negara
itu? Tercipta generasi yang percaya diri pada kekayaan intelektual bangsanya;
tidak mudah diinfiltrasi budaya dari luar; dan menempatkan pengetahuan sebagai
sumber kekayaan yang tiada akan habis seumur hidup.
Bagaimana dengan nasib sastrawan dan intelektual
Indonesia. Di negeri ini baru makam Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji yang jadi
objek wisata religi dan edukasi. Bagaimana pula dengan Jakarta? Bagaimana pula
dengan makam Chairil Anwar? Itulah sesungguhnya tugas dan kewajiban pemerintah
daerah menghargai—sekaligus memanfaatkan—popularitas tokoh penyair. Dapat kita
bayangkan jika makam Chairil Anwar dipugar dan disulap jadi tempat wisata
edukasi, tempat baca puisi, tempat diskusi anak-anak muda?
Para hadirin yang mulia.
Kita percaya, Pak Gubernur—seperti yang dapat kita lihat
pada kebijaksanaan dan penataan kota Jakarta kini, sudah menyadari perkara itu.
Kita lihat saja nanti, beliau akan merealisasikan sebuah taman yang nyaman,
indah, dan bermarwah, karena di sana, ada makam yang dicintai para sastrawan,
dihormati kaum intelektual mancanegara: Chairil Anwar!
Demikian sambutan saya.
Terima kasih
Wassalamualaikum w.w.