Mukadimah
Beberapa puisi para penyair, terkesan ada yang
main-main, tengah bercanda, lucu dan menimbulkan tawa. Sebut saja, puisi-puisi
Remy Sylado, Hamid Jabbar, Sutardji Calzoum Bahri, dan lain-lain. tak jarang,
puisi itu dianggap hanya permainan kata-kata belaka. Bagaimanapun, puisi tak
akan lepas dari perenungan. Proses penciptaannya, tak lepas dari pemilihan
kata-kata. Termasuk melihat lebih dalam suatu fenomena atau kejadian. Bahkan
terhadap sebuah benda.
Termasuk puisi-puisi Hamdy Salad yang lahir di
Ngawi, Jawa Timur, dan kini menetap di Yogyakarta. Ini bisa dilihat dari tiga
puisinya yang berjudul; Meditasi Batu, Meditasi Debu, dan kembali Ke Bumi. Dari
judulnya saja, Hamdy yang menjadi pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa ISI Yogyakarta ini, menggunakan kata
yang lekat dengan perenungan; Meditasi. Menurut KBBI, kata meditasi berarti
pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Bisa dibayangkan
bagaimana jika seseorang (sebut saja penyair) melihat satu hal dengan
kesungguhan, bukan? Pikiran dan perasaannya fokus pada hal tersebut. Hasilnya
bisa jadi hal yang tak biasa. Hal yang (mungkin) tak terlihat oleh kebanyakan
orang.
Dalam Meditasi Batu, Hamdy seperti mengajak pembaca
untuk melihat fenomena meletusnya gunung berapi. Peristiwa yang mencekam.
Bahkan, bisa menimbulkan korban jiwa. Dan Hamdy melihat fenomena tersebut dari
batu mulia (batu cincin) di jari manisnya, atau jari manis orang lain, entah.
“Batu-batu mulia menangis di jari manis”. Seakan Hamdy ingin mengatakan,
dibalik keindahan tersimpan peristiwa dan hal yang memilukan. Atau, ketika
menginginkan hal yang indah, seseorang mesti melewati hal yang getir dan pahit.
Pada puisi Meditasi Debu, Hamdy seperti melihat
(merenungi) beberzpa ayat Al-Quran: “Di antara Kaaf dan Nun”, “Demi masa!”, dan
“Bacalah, bacalah!”. Hamdy seakan mengajak pembaca ikut merenungi peristiwa dan
makna yang terkandung di balik ayat-ayat yang tercipta. Pun pada puisi
ketiganya, Kembali ke Bumi, Hamdy lagi-lagi mengajak untuk merenungi tentang proses dzikir dan kaitannya dengan
alam: ladang, sawah, rumput, akar, tanah, pohon, dan sungai, yang semuanya
adalalah proses bagi manusia menuliskan sejarah dan kesaksian. “orang-orang
mencari jalan/menuliskan sejarah dan kesaksian”.
Selamat membaca, menikmati, dan merenungi.
Puisi-puisi
Hamdy Salad
Meditasi
Batu
Kau cari-cari sejarah masa lalu
dalam batu. Segumpal debu yang hilang
di antara lahar berapi dan banjir bandang
berjuta jiwa meneteskan airmata
mengepakkan sayapnya tanpa bulu
terbang tinggi menuju langit ketujuh
Kau gali-gali kuburmu sendiri
sebagai hiburan. Kilau cincin permata
menembus waktu sepanjang zaman
sampai engkau pun tahu, tanpa cahaya
siang dan malam sama gelapnya
Kau saksikan seribu anakpanah
melesat dari gundukan tanah
membawa rupa segala benda
berserah diri di tengah huru-hara
Kau lupakan asal hujan dan air garam
dalam tubuhmu. Muara laut dan sungai-sungai
yang mengalirkan darah sampai ke hulu
Gunung-gunung menyimpan rahasia
gulungan ombak dan badai katulistiwa
batu-batu mulia menangis di jari Manismu
(2015)
Meditasi
Debu
Di antara Kaaf dan Nuun
Lahirlah alam semesta
Bumi dan rumpun manusia
Kehijauan dan kehancurannya
Diciptakan tubuh dari tanah
Diciptakan ruh dalam darah
Diciptakan mawar di atas duri
Diciptakan kayu bakar dari diri
Diciptakan padang mahsyar tempat kembali
Demi masa!
Matahari kian mendekat di atas kepala
Sebutir debu termangu di tepijurang
Matanya putih mengidap duka
Bayang-bayang melenyap secara perlahan
Yang Lahir dan Yang Bathin
Mengetahi segala-galnya
Bacalah, bacalah!
Nama-nama begitu Indah!
(1995)
Kembali
Ke Bumi
Dzikir air mengalir
Membasahi ladang dan sawah
Menuju tempat paling akhir
Tanpa keluh kesah
Riumput-rumput yang dibakar
Tumbuh kembali bersama akar
Sembuyi di bawah tanah
Orang-orang mencari jalan
Menuliskan sejarah dan kesaksian
Hujan Abu di Musim semi
Nenek moyang dibangkitkan
Sebagai zombie yang menakutkan
Pohon-pohon yang ditebang
Menenbarkan biji pada setiap inci
Sampai rimbun di hari nanti
Dzikir air sepanjang sungai
Meebur inti segala peristiwa
Menuju muara paling abadi
Tanpa luka dan airmata
(2018)
Hamdy Salad, lahir
di Ngawi, Jawa Timur, dan menentap di Yogyakarta. Menjadi pengajar di Fakultas
Seni Pertunjukan dan Seni Rupa ISI Yogyakarta. Dia mendapat Anugerah Sastra
Indonesia dan Yasayo (2013) dan buku puisinya Tasbis Merapi mendapat Anugerah
Pilihan dari Yayasan Hari Puisi Indonesia (2015).