Mukadimah
Iwan SImatupang, sastrawan
yang lihai bercerita. Laki-laki yang lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 18
Januari 1928 ini begitu ciamik dalam menggambarkan keadaan. Membawa pembaca
masuk ke dalam suasana dan situasi dalam karya-karyanya. Termasuk dalam
puisi-puisinya. Diantaranya, dua puisinya yang berjudul Potret dan Bintang Tak
Bermalam.
Pada puisi
berjudul Potret, Iwan yang meninggal pada 4 Agustus 1970 di Jakarta ini
menggambarkan tentang seorang perempuan di dalam sebuah kamar; sebuah ruang.
Bisa ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, dan ruang-ruang lain yang tentu
saja menyimpan waktu. Di ruang atau
kamar tersebut terdapat sebuah foto. Sebuah potret, yang bisa juga berarti
sebuah gambaran, kekasih sang perempuan yang tengah senyum. Ya, dalam puisi ini, Iwan seperti tengah bercerita
tentang seorang perempuan yang memiliki kekasih seorang serdadu yang tak
kunjung pulang. Bahkan ditegaskan sang kekasih telah menjadi bangkai dalam
bingkai. Mungkin ia gugur dalam peperangan.
Iwan yang pernah
menjadi komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara pada 1949 dalam puisi berjudul
Potret ini seakan ingin bercerita bagaimana jika seorang perempuan memiliki
kekasih seorang serdadu pada masa peperangan. Ia pun bercerita tentang cinta
seorang perempuan. Sepertinya cinta sejati. Sebab, sang perempuan akhirnya
memutuskan menjadi seorang biarawati. Keputusan yang bisa jadi diakibatkan dari
keadaan yang tak terelakkan: perang.
Sementara pada
puisi yang berjudul Bintang tak bermalam (nocturne untuk Nany Jasodiningrat),
Iwan yang pernah bekerja sebagai guru di Surabaya dari tahun 1950-1953 ini
seperti tengah bercerita tentang cahaya dan warna. Ini diwakili dengan
kata-kata: lembayung, bintang, pijar, dipenjar, kelam, malam, pelangi, dan
siang dalam puisi ini. Dan ini dipertegas pada judulnya: Nocturne. Keadaan
ketika malam.
Dalam puisi ini, Iwan seperti ingin memberi
semangat pada seseorang bernama Nany Jasodiningrat. Iwan ingin memotivasi bahwa
malam sekalipun mengalami kerisauan. Sebab kelam dan warna bintangnya telah
direbut oleh siang. Kelam yang selazimnya dimiliki oleh malam. Ya, seolah-olah
Iwan ingin mengatakan apa pun dan siapa pun pasti mengalami kerisauan (masalah,
persoalan, kesedihan, bahkan penderitaan). Dan itu adalah hal yang tak perlu
dirasakan berlarut-larut. Bahkan kelam tak lagi bagi malam, tulis Iwan
Simatupang.
Ya, selain
bercerita, dalam puisi-puisi Iwan Simatupang selalu terdapat sebuah nilai,
pesan, dan makna kehidupan yang seringkali digambarkan dalam bentuk-bentuk
puisi yang terlihat sederhana. Selamat Membaca.
Puisi-Puisi Iwan Simatupang
Potret
di sudut kamar seorang dara
tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, bahtera kita
kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.
Kini dara sudah lama tak menunggu
lagi.
Langkah-langkah pelan, yang biasa
datang
Menjelang tengah malam dari kebun
belakang
Bawa cium dan kembang –
Takkan lagi kunjung datang
Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dalam
bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
Masih jua belum pulang.
Kini dara sudah lama dalam biara
Bintang Tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)
Bertengger atas risau lembayug
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar
(Siang telah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)
Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil
Warna bintang jatuh
Sumber: Ziarah Malam, sajak-sajak 1952-1967 (PT. Grasindo, Jakarta,
1993)
Iwan Simatupang, lahir di Sibolga, Sumatera Utara pada 18 Januari
1928 dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Tahun 1949 pernah menjadi
komandan pasukan TRIP di Sumatera Utara, tahun 1950-1953 bekerja sebagai guru
di Surabaya. Tahun 1977 Iwan Simatupang menerima Hadiah Sastra ASEAN. Dramanya:
Bulan Bujur Sangkar (1957), Taman (1958), RT Nol/RW Nol (1966), Petang
di Taman (1966) dan Cactus dan
Kemerdekaan (1969). Novelnya: Merahnya
Merah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Cerpen-cerpennya
dibukukan oleh Dami N. Toda dengan judul Tegak
Lurus dengan
Langit
(1982).