MAMAN S MAHAYANA
Elan
Hari Puisi Indonesia
Pendeklarasian
Hari Puisi Indonesia (HPI), tentu saja bukan tanpa alasan. Ia juga bukan
sekadar kehebohan sesaat atau latah ikut memeriahkan posisi puisi dalam
kehidupan kebudayaan bangsa Indonesia. Ada elan kultural yang mendasarinya. Ada
semangat mengembalikan puisi sebagai ekspresi individu yang merefleksikan
heterogenitas budaya Indonesia. Dengan dasar itu, puisi Indonesia tak hanya
mengemban misi diversifikasi budaya penyair yang melatarbelakanginya, melainkan
juga menjadikan keberagaman kebudayaan Indonesia bukan lagi sebagai slogan yang
dipahami dan dimaknai secara artifisial.
Hari
Puisi Indonesia adalah legitimasi kultural yang tidak bersifat hegemonik. Bahwa
keberagaman kebudayaan etnik sebagai identitas keindonesiaan menunjukan
semangat kesetaraan dan kesejajaran dari sebuah bangsa yang multikultur.
Indonesia adalah Aceh, Bali, Bugis, Dayak, Jawa, Madura, Melayu, Papua, Sunda
dan seterusnya. Dengan penyebutan Indonesia sekaligus berarti mewadahi keberbagaian
kebudayaan etnisitas itu. Ini menjadi ruh, spirit, ekspresi, dan elan
kebangsaan dalam arti kultural, bukan politik.
Pertanyaannya
kini: bagaimana dengan Hari Puisi Nasional (HPN) yang konon pernah dicanangkan
dan diperingati pada hari wafatnya penyair legendaris, Chairil Anwar, 28 April?
Mengapa banyak kalangan, termasuk para penyairnya sendiri, tidak (atau belum)
tahu, bahwa tanggal 28 April itu sebagai Hari Puisi Nasional? Perayaan puisi
dalam berbagai kegiatan yang selama ini dilakukan pada tanggal 28 April, bukan
lantaran hendak memeriahkan HPN, melainkan bentuk penghargaan kepada
kepeloporan Chairil Anwar.
Begitulah,
eksistensi HPN, seolah-seolah tiada dan surut ke belakang lantaran berada di
bawah bayang-bayang nama besar Chairil Anwar. Fakta itu menunjukkan, ada
persoalan sosiologis dalam penetapan HPN. Mengapa HPN seperti ada dan tiada.
Kapankah penentuan HPN dilakukan, siapa pula pencetusnya dan yang jauh lebih
penting adalah tindak lanjut dari penetapan itu. Dengan begitu, penetapan HPN
mestinya tak sekadar pencantuman nama hari penting dalam sebuah senarai,
melainkan tindak lanjut, aktivitas, kiprah, dan gerakan kultural untuk
menunjukan, bahwa ada tujuan atas penetapan HPN itu.
Kita
tentu menghargai usaha memberi apresiasi yang tinggi pada penyair Chairil Anwar
dengan dicanangkannya HPN. Tetapi, tentu kita juga tidak ingin penghargaan itu
bersifat artifisial, sekadar memilih hari, tanpa filosofi, tanpa alasan, tanpa
keterangan apa pun, bahkan juga tanpa usaha sosialisasi. Oleh karena itu, jika
kita membiarkan persoalan ini terus menggelinding, maka sampai kapan pun, puisi
tetap akan berada dalam posisi marginal dalam kehidupan masyarakat bangsa.
Puisi tetap dianggap tidak punya kontribusi penting apa pun dalam gerakan
kebudayaan dan pemikiran bangsa Indonesia. Deklarasai Hari Puisi Indonesia
merupakan momentum untuk mengangkat kembali peranan puisi sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dengan gerakan kebudayaan dan pemikiran bangsa Indonesia.
Dalam
situs Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) yang memuat senarai
hari-hari penting nasional, tersurat keterangan berikut: Bulan April, Tanggal 28, Nama Hari: Hari Puisi Nasional, Deskripsi:
Hari Puisi Nasional di Indonesia diperingati untuk menghargai peran besar
penyair Indonesia, Chairil Anwar. Hari Puisi Nasional diperingati setiap
tanggal 28 April yang menjadi tanggal wafatnya Chairil Anwar pada tahun 1949.
Hari-hari Besar Internasional/Zulkifli.
Pertanyaannya:
siapa yang mencanangkan itu? Apa pula alasannya; ihwal yang melatarbelakangi
dan yang melatardepaninya? Mengapa pula mesti pakai kata nasional, dan bukan Indonesia.
Pencatuman kata nasional, sebagaimana
yang terdapat dalam konsep kebudayaan nasional, cenderung bersifat hegemonik.
Keterangan tentang kebudayaan nasional sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah”
menunjukkan ada kebudayaan daerah yang tidak berada di puncak. Dengan begitu,
ada kebudayaan daerah yang berada di posisi bawah. Ada pelecehan dan penghinaan
terhadap kebudayaan daerah (di Indonesia) yang dianggap tidak berada di puncak.
Pertanyaannya:
bukankah kebudayaan daerah di mana pun di Indonesia dihasilkan sebagai produk
kebudayaan bangsa Indonesia. Mengapa harus ada penafian atas kebudayaan daerah
yang dianggap tidak berada di puncak? Kebudayaan nasional (Indonesia),
hakikatnya adalah kebudayaan daerah yang lahir, tumbuh, dan berkembang di
wilayah Indonesia, dihasilkan dan dihidupkan oleh bangsa Indonesia. Jadi, semua
kebudayaan daerah apa pu jenisnya dan dalam posisi di mana pun, tidak lain
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan (nasional) Indonesia.
Begitulah,
konsep HPN menunjukkan ada puisi yang tidak nasional, meskipun ia dihasilkan
penyair Indonesia. Jadi ada penafian atas puisi lain. Oleh karena itu,
penetapan HPN perlu dipertanyakan kembali, mengingat adanya banyak
ketidakjelasan atas semangat yang melatarbelakangi dan yang melatardepaninya.
Di samping itu, puisi sebagai salah satu ekspresi budaya seyogianya terbebas
dari segala bentuk hegemoni, tidak terikat pula oleh adanya kesan mengangkat
atau menjunjung tinggi yang satu dan menenggelamkan atau menafikan yang lain.
Puisi Indonesia adalah ekspresi budaya yang dilahirkan oleh seorang warganegara
yang berada dalam lingkup negara Indonesia.
Pada
sidang ke-30 Unesco yang diselenggarakan di Paris, Oktober-November 1999,
disepakati, bahwa tanggal 21 Maret ditetapkan sebagai hari Puisi Dunia.
Penetapan itu didasarkan pada kesadaran, bahwa puisi dalam sejarah
bangsa-bangsa di dunia telah memainkan peranan penting dalam pengembanganan
seni dan budaya. Tujuan deklarasi itu juga sebagai ajakan untuk merefleksikan
kekuatan bahasa dan pengembangan kreativitas masing-masing pribadi penyair. Ada
semangat untuk mengembangkan keberagaman bahasa dan sekaligus memberi
kesempatan ‘menghidupkan’ bahasa yang pernah punah. Puisi dapat memainkan peran
penting dalam mendukung tradisi lisan dalam perayaan baca puisi dan memperkuat
hubungan puisi dengan ekspresi seni yang lain.
Deklarasi
itu merupakan legitimasi masyarakat dunia atas peranan puisi sebagai ekspresi budaya
dan pemikiran. Maka, mengawali Hari Puisi Dunia, sejak 21 Maret 2000, Unesco
menyelenggarakan berbagai kegiatan perayaan puisi mulai dari pementasan,
pameran, penerbitan, pengajaran dan apresiasi.
Bagaimana
dengan Hari Puisi Indonesia? Tentu saja deklarasi HPI akan berimplikasi lebih
luas dan panjang. Sejalan dengan semangat Unesco mendeklarasikan Hari Puisi
Dunia, HPI tidak hanya dapat memperkuat keberadaan dan peran kepenyairan
Indonesia, tetapi juga mengakomodasi para penyair yang menulis dalam bahasa
etniknya. Maka, deklarasi Hari Puisi Indonesia merupakan momentum untuk
mendorong perayaan puisi sebagai gerakan kebudayaan dan pemikiran.
Nah!
Jelang Perayaan Hari Puisi Indonesia
Indonesia sesungguhnya lahir dari
puisi berjudul “Sumpah Pemuda”, sebuah metafora tentang bangsa (suku-suku
bangsa) yang menempati wilayah tertentu (tanah air), dan secara sosio-kultural,
dan historis, dipersatukan oleh alat komunikasi yang sama (bahasa Indonesia).
Itulah Indonesia yang dibayangkan. Oleh karena itu, Sumpah Pemuda memancarkan
dan menanamkan semangat kebangsaan keindonesiaan. Secara genealogis, teks
Sumpah Pemuda dapat ditelusuri asal-muasalnya pada puisi Muhammad Yamin (23
Agustus 1903 – 17 Oktober 1962) yang berjudul ‘Tanah Air” (Jong Sumatra, Juli 1920), “Bahasa Bangsa” (Februari 1921), dan “Tanah
Air” (9 Desember 1922). Hampir semua pengamat sastra Indonesia menempatkan
sejumlah puisi Yamin dalam kaitannya dengan semangat kebangsaan. Tetapi, tidak
ada satu pun dari mereka yang menghubungkannya dengan teks Sumpah Pemuda.
Dengan merujuk pada spirit kebangsaan
keindonesiaan yang dicetuskan 28 Oktober 1928 dan dengan kesadaran, bahwa puisi
dapat memainkan peranan penting dalam membangun karakter bangsa, maka lebih
dari 40 penyair dari seluruh Indonesia, tahun 2012, berkumpul di Pekanbaru
untuk menetapkan Hari Puisi Indonesia. Presiden Penyair Indonesia, Sutardji
Calzoum Bahcri kemudian mendeklarasikan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi
Indonesia. Penetapan 26 Juli tidak lain sebagai bentuk penghormatan kepada
penyair fenomenal, Chairil Anwar yang lahir pada tanggal itu. Maka, pada setiap
tanggal 26 Juli, Indonesia merayakan Hari Puisi Indonesia sebagai ekspresi
menghormati puisi sebagai produk kebudayaan dan merayakan spirit Sumpah Pemuda
guna melanggengkan persatuan Indonesia.
Perayaan Hari Puisi pertama dilakukan
dengan nama Pekan Hari Puisi Indonesia 2013. Perayaan Hari Puisi kedua dengan
nama Festival Hari Puisi Indonesia 2014. Kedua perhelatan itu telah mendorong
para penyair di seluruh Indonesia makin menyadari bahwa kepenyairan tidak lain
merupakan profesi yang di sana tersimpan tanggung jawab menegakkan kebudayaan
sebagai pilar pembangunan karakter bangsa dan persatuan Indonesia sebagai
mukjizat bangsa Indonesia yang wajib dipertahankan sampai kapan pun. Beberapa
penyair dari mancanegara yang ikut perayaan itu mengapresiasi kegiatan itu dan
mengakui bahwa peristiwa itu telah memberi inspirasi bagi mereka, bahwa
persatuan bangsa dapat disebarkan melalui karya sastra, khususnya puisi.
Perayaan Hari Puisi Indonesia tahun
ini diselenggarakan 5-8 September 2015 di Taman Ismail Marzuki. Tema yang
diusung kali ini adalah “Puisi Indonesia sebagai warga puisi dunia." Filsofinya
sederhana. Kini perpuisian Indonesia sudah berkembang sedemikian rupa. Sekian
banyak puisi Indonesia sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Artinya,
puisi Indonesia yang pada awalnya menyerap pengaruh asing, kini sudah menjadi
warga puisi dunia. Dan di tengah hiruk-pikuk arus globalisasi yang terus
memberi warna pada kebudayaan masa kini, puisi adalah salah satu pertahanan
bangsa kita untuk tidak tercerabut dari akar budaya yang menjelma tradisi dan
ibu budaya yang melahirkan dan membesarkan bangsa kita. Dengan begitu, meski
pengaruh globalisasi merupakan keniscayaan, sudah saatnya bangsa Indonesia
lebih gencar menyuarakan produk budayanya, termasuk di dalamnya puisi, ke mancanegara.
Bukankah persoalan pengaruh-mempengaruhi dan terjadinya silang budaya, justru
dapat memeperkaya khazanah kebudayaan-kesustraan kita.
Adapun rangkaian acaranya, selain
pemberian Anugerah Buku Puisi, Parade Baca Puisi, Panggung Bebas Apresiasi
Puisi, dan Malam Puncak Anugerah Hari Puisi, juga ada diskusi buku puisi
pemenang anugerah hari puisi 2013-2014 dan seminar internasional dengan para
pembicara dari Iran, Turki, Serbia, Meksiko, Portugal, Tunisia, Korea dan
negara di kawasan Asean, termasuk Indonesia sendiri.
Hari Puisi Indonesia adalah sebuah
momentum bagi bangsa Indonesia untuk tetap mengenang masa lalunya agar tidak
menjadi bangsa yang tuna sejarah. Ia juga dapat digunakan sebagai saluran
komunikasi untuk saling menghormati akar tradisi dan ibu budaya masyarakat kita
yang tidak dapat melepaskan diri dari latar belakang etnisitas. Itulah salah
satu modal kultural bangsa Indonesia, dan puisi telah memainkan peranannya
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pembentukan bangsa ini.
Begitu!
Dua artikel ini
telah dimuat dalam buku ‘Jalan Puisi, Dari Nusantara ke Negeri Poci’ tahun
2016.