oleh Irawan Sandhya
Wiraatmaja[1]
Mukadimah
Satu
hari dalam satu tahun, para penyair, penggiat dan penikmat puisi merayakan Hari
Puisi Indonesia di seluruh pelosok negeri. Dengan sebuah kebahagiaan, kegembiraan dan suka cita Hari
Puisi dirayakan tanpa terikat oleh
prosedural dan sistem birokrasi yang cenderung kaku - elitis - dan ruwet.
Kantong-kantong sastra, mulai dari Aceh, Medan, Riau seterusnya di pulau Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua membuka dan melaksanakan perhelatan
Hari Puisi Indonesia dengan bermacam ragam acara: pembacaan puisi, diskusi,
bedah buku puisi, bincang-bincang dalam waktu yang lepas dan penuh antusias.
Sebenar-benarnya mereka melakukan itu semua dengan penuh keikhlasan dan semangat.
Perayaan Hari Puisi tahun
ini diperingati untuk yang keenam kalinya. Komunitas sastra, tanpa ada
sekat-sekat apapun, terlebih yang berbau perbedaan SARA, dengan kegembiraan
yang mengalir merayakan dengan penuh suka cita. Dengan segala keterbatasan, bergotong royong untuk menyelenggarakan
kemeriahan perayaan hari puisi. Panggung dengan setting sederhana, spanduk,
banner dan umbul-umbul, semuanya dibuat bersama dalam napas kesatuan yang
kohesif. Ketidakpedulian dari pihak-pihak yang mempunyai otoritas kesenian dalam birokrasi, tidak
menjadi hambatan untuk tetap merayakan Hari Puisi dengan kegembiraan, dengan
gairah, spirit, motivasi yang terus menyala. Seperti api yang tidak pernah
padam. Pertanyaannnya kemudian adalah mengapa harus puisi? Mengapa para
penyair, penggiat dan peminat puisi tetap cinta dan ikhlas terus berkelanjutan
merayakan Hari Puisi itu meskipun
tanggal dan bulannya telah lama berlalu.[2]
Puisi:
Memahami Jejak
Masa Silam
Puisi
sebagai salah satu genre sastra, acapkali dikatakan sebagai “berjalan di lorong
kesunyian.” Maksudnya, puisi banyak ditulis oleh para penyair, akan tetapi
terbatas yang memberikan apresiasi dan memahami utilitasnya. Meskipun demikian, realitasnya Hari Puisi telah dirayakan
untuk keenam kalinya dengan suka cita, dengan kegembiraan yang tulus. Ada
pertanyaan yang menggelitik, apakah puisi itu sesungguhnya? Begitu banyak sekarang
ini orang yang menulis puisi, lepas dari
apakah yang ditulisnya itu berkualitas atau tidak, dibaca oleh masyarakat atau tidak?
Puisi tetap saja terus ditulis oleh beragam karakter manusia. Apakah puisi
ditulis dengan sebuah kesia-siaan?
Dengan ketidakpedulian ego yang tinggi?
Puisi, kehadirannya di Nusantara, -boleh juga
diartikan sebagai Indonesia,- sesungguhnya telah berjalan dalam kurun waktu
yang lama. Puisi sebagai bagian yang dapat dipahami dari budaya telah tumbuh
sejalan dengan sejarah peradaban manusia. Aristoteles mengatakan bahwa puisi
adalah representasi dari objek yang ditiru ke dalam kompleksitas bahasa.[3]
Puisi secara historis telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu,
sekitar abad 7 Masehi ketika masa-masa kerajaan Sriwijaya. Ini dibuktikan dari
jejak-jejak peninggalan yang dapat diketemukan pada beberapa prasasti berupa
tulisan-tulisan.
Kerajaan Sriwijaya pada
masa itu merupakan pusat pendidikan, di mana kitab-kitab- nya ditulis dalam
bentuk puisi dan prosa. Pada prasasti
dan naskah yang diketemukan kebanyakan ditulis dengan menggunakan bahasa
Melayu kuno. Tulisan dalam prasasti diungkapkan dalam bentuk syair yang
memasukan sumpah, janji atau kutukan hukuman sebagai ketentuan, aturan dan hukum kerajaan.
Di dalam tulisan-tulisan itu juga dicantumkan nama dan jabatan petinggi
kerajaan, agar rakyat pada masa itu mematuhinya sebagai sebuah hukum yang harus
ditaati. Kebiasaan yang tertuang dalam tulisan-tulisan itu ternyata tidak hanya
digunakan oleh kalangan kerajaan saja, akan tetapi juga berkembang dalam
kehidupan masyarakat yang kemudian mengkristal menjadi sebuah budaya yang
tumbuh dan berkembang.
Beragam upacara adat,
acara ritual dan seremonial dalam beribadah, pertemuan adat, upacara kelahiran,
perkawinan dan kematian serta acara ritual dan upacara lainnya banyak
menggunakan tulisan-tulisan yang akhirnya akan menjadi sebuah peninggalan
budaya. Kebiasaan-kebiasaan dalam
kerajaan ini kemudian berkembang meluas
dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam melakukan komunikasi antar
masyarakat. Dengan demikian, tulisan-tulisan dalam bentuk syair (puisi) ini
tidak hanya menjadi medium komunikasi antara manusia dan sang Khalik, sebagai
wujud penghambaan, akan tetapi juga bagian dari proses komunikasi antara
manusia, sebagai wujud dari sebuah komunitas masyarakat sosial.
Beberapa
bentuk puisi lama yang lazim dan berkembang di dalam masyarakat adalah mantra
dan pantun. Mantra merupakan puisi yang lebih banyak digunakan dalam upacara
adat dan keagamaan. Puisi ini dianggap memiliki kata-kata yang mengandung
petuah dan kesaktian, yang bisa memberikan kekuatan gaib. Pada mulanya mantra
tidak dianggap sebagai puisi, dalam perkembangannya melalui sejumlah kajian
ternyata mantra dapat dimasukan ke dalam karya sastra.
Sementara itu pantun
merupakan kata-kata yang disusun secara terstruktur sehingga menjadi untaian
kalimat yang enak diucapkan dan didengar. Umumnya isi di dalam pantun berupa
ejekan, kritik, saran ataupun nasihat. Karena ditulis dalam bahasa yang
memiliki estetika, maka mereka yang menjadi tujuan dari pantun, tidak merasa
sakit hati atau tersinggung. Pantun sudah menjadi bagian budaya dan sebagai alat
komunikasi pada sebagian besar masyarakat Melayu terutama di Sumatera.
Baik mantra maupun
pantun, menjadi sebuah kelaziman dalam kehidupan masyarakat kita. Pada
perkembangannya berikut, mantra dan pantun bereinkarnasi ke dalam bentuk puisi
kontemporer Indonesia, sebagai upaya kembali pada akar lokal. Di samping mantra
dan pantun, beberapa bentuk yang lain adalah gurindam, karmina, talibun, seloka
dan syair.[4]
Bentuk-bentuk puisi ini ditulis oleh mereka yang memiliki kapasitas yang
dihormati dan kapabilitas dalam berbahasa dengan baik. Antara kemampuan
estetika dan etika, di mana kata-kata yang tertulis dalam bentuk-bentuk puisi
itu menjadi karya yang bukan hanya dijadikan petuah dan nasihat di kalangan
terhormat, kerajaan ataupun kaum ningrat akan tetapi juga tumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat sebagai sebuah produk budaya. Tidak dapat dihindari,
sebagai sebuah keniscayaan, bahwa mereka yang menulis bentuk-bentuk puisi ini
merupakan manusia, Mpu, yang memiliki
kecerdasan dan kearifan tinggi.
Puisi:
Kompleksitas Bahasa dan Manusia
Puisi merupakan hasil cipta,
karya, dari seorang penyair sebagai manusia. Sementara manusia dapat dipahami
sebagai makhluk yang berakal budi. Akal budi itu tampak dalam kreatifitas
kehidupan yang selalu mencari jalan ke luar mengatasi setiap permasalahan
hidup. Dengan demikian manusia yang berbudaya, dengan sendirinya menjadi homo
creator (makhluk yang kreatif)[5] dan
kreatifitas itu terwujud dalam bentuk pemikiran, ide, konsep, perilaku, tingkah
laku dan apa yang dihasilkan dari seluruh proses tindakan manusia.[6]
Dalam perspektif budaya,
puisi merupakan esensi yang melekat ke dalam bahasa. Bahasa merupakan sebuah sistem lambang yang menghubungkan dunia makna dengan
dunia bunyi serta terkait erat dengan dunia pragmatik.[7] Dunia
makna atau komponen makna berisi konsep-konsep, ide-ide, pikiran-pikiran atau
pendapat-pendapat yang berada dalam otak atau pemikiran manusia. Komponen makna
ini bersifat abstrak, tidak dapat diamati secara empiris. Meskipun demikian,
dapat dikeluarkan melalui alat ucap ke dalam dunia bunyi, yang merupakan
realisasi fisik dari dunia makna atau setelah melalui sistem bahasa yang
bersifat konkret.
Ketika seorang penyair
menulis puisi, maka pada hakekatnya ia menulis sesuatu yang kompleks. Ia
bergulat dengan bahasa yang terurai dalam kalimat, dan kalimat tersebar di
dalam kata-kata yang menyimpan keluasan
makna yang memberikan kebebasan kepada penyair untuk menangkapnya.
Dihadapkan pada lingkungan yang dinamis dan juga kompleks, maka sesuatu yang
menjadi objek itu akan mengental menjadi
sebuah kreatifitas karya. Di dalam kedirian batin seorang penyair, ada wujudan
nilai-nilai yang mengendap dan menjadi sebuah keyakinan dan kejujuran, sebagai
hasil dari proses pembelajaran, pengalaman dan pengamatan fisik maupun
imajinatif. Jadi, seorang penyair akan
dihadapkan pada realitas objek, bahasa dalam wujud kata-kata yang berserakan
secara bebas, dan nilai-nilai normatif - yang selaras dengan norma sosial,
yaitu kejujuran dan kebenaran. Keseluruhannya berkristal dalam ramuan
kecerdasan kreatif.
Sebuah karya puisi,
tidak bisa hanya berada di dalam dunia imajinasi, khayalan, sebagaimana yang
banyak disangkakan pada masyarakat umum terhadap para penyair. Penyair yang
seringkali diidentikkan sebagai seorang pelamun, penghayal. Puisi-puisi yang
hanya diciptakan berdasarkan lamunan semata. Tidak. Puisi tidak hanya bersifat
imajinatif, akan tetapi juga merupakan refleksi sebuah realitas. Realitas yang
berada di antara estetika puitik dan nilai-nilai etika. Karena di dalam medium
bahasa itu ada keindahan yang harus terbangun, baik dalam penggunaan metafora,
simbol, personifikasi dan diksi, pemilihan kata-kata serta pemenggalan kata, enjambemen yang menguatkan eksistensi sebuah puisi.
Meminjam konsep dari
keauntentikan sebuah naskah, maka sebuah puisi yang ditulis dan dilahirkan
penyair dapat dipahami ke dalam tiga syarat yaitu: structure (struktur),
content (isi) dan context (konteks/keterkaitan). Struktur
tidak hanya diartikan sebagai bentuk fisik (tipografi), namun juga bangunan
lambang dan simbol yang digunakan, Isi sangat terkait dengan tingkat pemahaman
terhadap sebuah objek realitas yang terungkap dalam medium kata, sedangkan
konteks merupakan keterhubungan puisi dengan sebuah gejala, peristiwa atau
sesuatu yang tergambarkan dari pengalaman secara imajinatif.
Apabila seorang penyair
menulis puisi, maka sesungguhnya ia telah menulis sebuah kejujuran. Oleh karena
itu sebuah puisi dikatakan berhasil “menjadi” puisi ketika ditulis
dengan kejujuran yang utuh. Kejujuran akan membawa sang penyair kepada jalan
kebenaran. Kebenaran inilah yang nantinya akan menjadi akses pemahaman dari
masyarakat secara luas. Secara ringkas, penyair menulis sebuah puisi dengan bekal
nilai-nilai dan norma kediriannya,
kemampuan imajinasi, adanya realitas objek dan kapasitas bahasa. Bahasa merupakan tempat tinggal bagi pengalaman-pengalaman
yang bermakna. Bahasa adalah cara
penyair memahami sebuah realitas atau bagaimana realitas itu sendiri hadir dan
bermakna kemudian penyair menangkap dan bergulat dengannya. Kalau kita memahami
seperti itu, maka sesungguhnya seorang penyair adalah seorang intelektual,
seorang Mpu, yang membawa pengalaman realitasnya, dalam bahasa, kalimat
dan kata-kata yang bijak.
Puisi: Yang Sehat dan Berpikir
Perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi serta multi media yang sangat cepat sekarang ini,
memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan sastra terutama
puisi di negara kita. Adanya beragam media sosial: facebook, twitter, instagram dan semacamnya memberikan
kesempatan yang luas lahirnya penulis-penulis puisi (kalau belum bisa disebut sebagai penyair). Hampir setiap hari lahir puisi-puisi baru. Tentu saja kita tidak
usah terburu-buru bertanya, bagaimana kualitas puisi-puisi yang dilahirkan.
Karena ada memang sebagian dari
puisi-puisi itu terlahir instant, tak ada kurator yang menyeleksi,
ditulis dan diposting secara suka-suka. Kapan saja kita mau, bisa
mempostingnya tanpa harus bersusah-susah
menunggu seleksi pemuatan.
Di satu sisi, kemajuan
teknologi ini memberikan nilai positif: kegairahan menulis yang meningkat,
informasi tentang event-event, kegiatan sastra terutama puisi, pembacaan
puisi, sayembara dsbnya dengan mudah dapat kita ketahui. Akan tetapi di sisi
yang lain, media sosial juga memberikan lahan yang subur bagi munculnya
bahasa-bahasa yang tidak sehat: nyinyir, makian, umpatan bahkan kata-kata
verbal yang menghilangkan karakteristik bangsa kita sebagai bangsa yang santun, ramah dan sopan.
Tidak bisa dihindari
terutama ketika memasuki tahun yang seringkali disebut sebagai tahun politik
yang menciptakan kubu-kubu
kepentingan secara frontal berhadap-hadapan.
Kata-kata, kalimat dan bahasa berseliweran di seluruh media sosial, seperti
tidak ada habis-habisnya. Seperti dilontarkan, diteriakan atau disampaikan oleh
dua musuh bebuyutan. Padahal mereka semua itu adalah kita, sesama saudara, satu bangsa dan satu tanah air. Kita semua
seperti kehilangan identitas, jati diri sebagai sebuah bangsa yang satu.
Kata-kata, kalimat dan bahasa kehilangan makna dan pengertiannya, yang tinggal
hanyalah kebencian dan dendam. Rasa permusuhan menjadi bagian dalam kita
berbahasa. Bahasa persatuan yang luhur, hanyalah tinggal slogan, karena
semuanya berlomba melemparkan kekerasan
verbalisme.
Di manakah penyair sebagai Mpu bahasa? Apakah penyair
justru menjadi bagian dari kondisi yang sangat memprihatinkan ini? Atau penyair
tetap berjalan di lorong kesunyian? Asyik masyuk dengan dunianya sendiri. Lupa pada
lingkungan, lupa pada masyarakat. Lupa bahwa puisi juga merupakan sebuah sikap budaya
(ideologi) yang harus dibawa untuk menyehatkan tatanan komunikasi masyarakat.
Puisi sebagai bagian melekat dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di sebuah
entitas masyarakat sudah seharusnya
mengambil fungsi dan peranan yang lebih konkret. Di samping fungsi
komunikatif, medium interaksi antar anggota masyarakat, puisi dalam kurun waktu
yang lama telah menjadi sarana yang efektif dalam advokatif, edukatif dan
medium spiritual dalam hubungan horisontal maupun vertikal.
Sudah sejak lama puisi
digunakan sebagai medium advokatif untuk menyampaikan nasihat, pendapat,
pemikiran dan kritik ataupun komentar
tanpa harus terjebak ke dalam penggunaan kata-kata, kalimat dan bahasa yang
kasar, yang membuat kita terkejut-kejut, geram dan sakit hati. Puisi memiliki
keluhuran, estetika di dalam struktur, isi dan konteksnya. Proses pembelajaran
(learning process) di kalangan masyarakat, apapun tingkat atau
jenjangnya sangat efektif memanfaatkan
puisi sebagai penguatan subtansi makna yang mengarahkan, membimbing dan menjaga tata krama dan kesantunan dalam
berkomunikasi. Di dalam doa-doa, puji-pujian, rasa syukur kepada sang Khalik,
puisi menjadikan kondisi penghambaan itu terasa lebih sakral dan hening.
Seperti ada napas yang bening mengalir di seluruh ruang dan waktu. Puisi memang
telah menjadikan kita berada di dalam sebuah ketenangan, kesejukan dan
kebahagiaan. Itu semua sudah berlangsung
dalam kurun waktu yang lama, sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan karya
sastra (puisi) di negeri kita ini.
Akan tetapi mengapa sekarang ini dengan
berkembangnya media sosial, kesemua sepertinya secara pelahan mulai tergerus,
terpinggirkan, dan terhapus di dalam kehidupan masyarakat kita. Karakter kita
yang selalu menjaga adab, adat istiadat kesantunan berbahasa sepertinya mulai
melenyap, yang muncul kemudian adalah sikap yang cepat marah, geram, umpatan,
makian, rasa benar dan menang sendiri menjadi bahasa sehari-hari yang
seringkali kita baca dan mungkin kita sendiri menulisnya. Tidak peduli lagi,
apakah yang kita tulis, apa yang kita sampaikan menyakitkan orang lain atau
tidak. Masing-masing menjadi makhluk horor bagi yang lainnya. Kejahatan dan kekerasan verbalisme
(yang kemudian bisa saja menjadi sebuah tindakan kriminal) seperti menjadi
sebuah mimpi buruk di negeri tropis ini. Masing-masing terbawa dalam ombak
emosi yang besar, seperti kata Jean Paul Satre sebagai bentuk kepribadian yang
tumbuh.
Ketika kita semua pada hari ini kehilangan
kata-kata, kalimat dan bahasa yang bermakna sebagai sebuah kejujuran dan
kesantunan, maka sesungguhnya kita sedang menghadapi kemungkinan hilangnya
peradaban dan kebudayaan. Dengan kita melahirkan kekerasan verbalisme,
kebencian, hasad, fitnah, dendam yang tak berkesudahan melalui kata-kata, kalimat
dan bahasa akan menjadikan kita sebagai makhluk yang menakutkan.
Puisi sebagai bagian yang melekat di dalam budaya, sebenar-benarnya
yang dapat merekatkan kita semua, karena kita berada di dalam rumah yang sama.
Dengan nilai-nilai budaya yang sama dan luhur. Mengapa kita harus tersesat dan
terjebak dalam kepentingan sesaat, sehingga lupa kalau kita adalah satu,
seperti yang diungkapkan dalam kata-kata dan kalimat Soempah Pemoeda tahun
1928? Sebuah sumpah yang juga adalah
sebuah puisi yang indah dan mengandung makna yang dalam secara structure,
content dan context.
Kita
kembali pada puisi yang mendekatkan kita semua, yang mengajak kita untuk tidak
henti-hentinya untuk berpikir, agar kita tidak kehilangan kesadaran, kehilangan
nilai-nilai luhur kemanusiaan, kehilangan esensi peradaban dan kehilangan hati
nurani. Puisi, puisilah yang akan memberikan napas, darah dan jantung yang
dapat membuat kita semua, manusia berbudaya, manusia yang mengataskan
kejujuran, kebenaran dan nilai-nilai peradaban yang sekian lama menjadi
perenungan dan kontemplasi dalam menumbuhkan, melahirkan dan mengembangkan
adanya “aku” dalam tubuh manusia,
tubuh kita. Gairah dan ghirah puisi menjadi tawaran yang harus diberikan dan dituntaskan kita semua sebagai penyair. Penyair
yang terus bergerak di ranah kebenaran. Masuk dan merebut ruang-ruang yang ada
dalam eksistensi manusia. Manusia yang masih kuat bertahan di dalam kejujuran
dengan segala jalan, dan arah pikiran serta denyut nadi semangatnya. Selamat
Hari Puisi Indonesia. Maju para Penyair Indonesia!
Jakarta, 29
Desember 2018
Catatan Kaki:
[1]Penikmat puisi dan Penyair pemenang Anugerah Buku Utama Hari Puisi Indonesia tahun 2017.
[2] Hari Puisi di Indonesia disepakati diperingati pada tanggal kelahiran penyair Chairil Anwar tanggal 26 Juli. Meskipun belum secara resmi dtetapkan oleh pemerintah, Hari Puisi Indonesia dirayakan oleh komunitas sastra hampir di banyak daerah. Dominan diirayakan atas inisiatif dan kreatifitas sendiri, dan sedikit sekali didukung oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
[3]Aristoteles. (terj. Cep Subhan). Puitika Seni Puisi. (Yogyakarta: basa basi, 2017), hal.17-19.
[4]Gurindam merupakan puisi yang terdiri dua baris dan umumnya berisi tentang nasihat. Bentuknya agak mirip seperti perihahasa yang penuh dengan masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Dalam gurindam mengemukakan kata-kata tentang sebab akibat dari tema puisi. Ada kesamaan bunyi berformat aa-bb-cc. Gurindam yang terkenal adalah gurindam 12 dari Raja Ali Haji. Karmina adalah bagian dari pantun, dengan perbedaan dalam kalimat yang pendek dan terdiri dari 2 baris. Baris pertama adalah sampiran dan baris kedua merupakan kalimat isi. Karmina banyak dikenal dan populer digunakan pada masyarakat Betawi dan biasanya digunakan pada upacara-upacara adat dan ritual. Bentuk lain dari pantun adalah talibun, yang biasanmya memiliki baris yang lebih banyak, terdiri dari 6, 8,12 baris. Apabila terdiri dari 6 baris, mnaka 3 baris pertama adalah sampiran dan 3 baris berikutnya merupakan kalimat isi. Begitu juga bila 8 baris, antara sampiran dan isi memiliki baris yang sama. Sedangkan seloka mempunyai bentuk hampir sama dengan pantun dan biasanya pada kalimat-kalimatnya berisi kalimat guyonan, gurauan, lelucon atau sindiran maupun ejekan. Seloka ada yang terdiri dari 4 baris, namun ada juga yang ditulis dalam baris yang panjang. Untuk syair, asal mula katanya berasal dari bahasa Arab yang berarti perasaan. Syair dapat diartikan sebagai ungkapan perasaan dari si pengarangnya. Syair merupakan puisi yang ditata secara teratur dan berirama berisi kalimat petuah ataupun nasihat dan semua kata-katanya masih memiliki keterkaitan.
[5]Jannes Alexander Uhi. Filsafat Kebudayaan. Konstruksi Pemikiran Cornelis Anthonievan Peursen dan Catatan Reflektifnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), hal. 57.
[6]Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai sistem kehidupan sosial yang tersusun dalam tiga wujud dan tujuh unsur. Tiga wujud itu adalah (1) system ide, (2) pola tindakan dan (3) himpunan artifak. Sedangkan tujuh unsur kebudayaan adalah: bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial dan sistem ilmu pengetahuan. Koentjaraningrat meringkas pemahaman kebudayaan sebagai system kehidupan sosial yang tersusun oleh sistem ide, pola tindakan, dan himpunan artifak yang terjelma dalam Bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem pengetahuan dari suku bangsa tertentu dalam lingkup tempatan tertentu.
[7]Abdul Chaer. Filsafat Bahasa. (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hal. 15.