(Bagian 2)
Nana Sastrawan
“Saya kira pada waktu-waktu yang paling buruk itulah
saya menulis puisi. Saya kira bukan puisi, tapi hanya semacam puisi.”
Itulah pernyataan Hanna Fransisca dalam pengantar buku antologi puisinya
yang berjudul ‘Konde Penyair Han’. Setelah kelahiran buku puisi pertamanya itu,
Hanna menjelma penyair perempuan dengan kesadaran mempertahankan integritasnya
pada kebudayaan leluhur. Dia melanglang ke dunia sastra dengan karakteristiknya
sendiri. Beberapa penghargaan pun dia raih, satu di antara bukunya meraih
penghargaan Sayembara Anugerah Buku Puisi Yayasan Hari Puisi Indonesia, itulah
sebabnya kepenyairan Hanna semakin kokoh dalam sastra Indonesia.
Pada buku ‘Hari Raya Puisi’ yang
memuat sepuluh judul puisi Hanna Fransisca, saya menemukan hubungan kuat dengan
karya-karya sebelumnya. Tampak di sana Hanna menghadirkan sesuatu yang biasa
namun serius. Kita dirangsang untuk berpikir, diperdayai melalui puisinya yang
menyampaikan pesan kultural. Oleh karena itu, terbuka peluang bagi puisinya
untuk ditafsirkan bermacam-macam. Tema puisinya biasa saja, akan tetapi
menghadirkan problem yang komplek tentang konflik batin dan perubahan sikap
yang dilatari oleh kehidupannya dalam tarik menarik antara ke-Tionghoan dan
ke-Indonesiaan. Meskipun demikian dalam beberapa puisinya Hanna memasuki
wilayah tema umum tentang kehidupan sosial perkotaan. Gambaran tersebut tampak
pada puisi ‘Kota Suci’ berikut ini.
Jalan menuju kotamu,
rawa-rawa di sekelilingnya. Langit lurus, pohonan
mampus.
Tak ada kelinci, tak ada bangkai ikan mujair, hanya
senapan untuk
memangsa
kawanan burung.
Asap dari langit seperti ayat,
sisa sayap serangga, bangkai semut
dan legenda para cacing
yang hilang
pada suatu malam.
Tak akan kautemui pabrik arak,
tak ada pelacur, bahkan patung-patung berhala roboh
pada suatu masa:
Dulu, ketika
anjing peliharaan masih ada. Dulu, ketika huruf-huruf latin masih dipakai untuk
menuliskan kisah bahagia. Dulu, ketika lelaki
perempuan
masih bebas berciuman
membicarakan
dunia.
Jangan pernah
bernyanyi
di jalan kotamu.
Sebab suara tembakan akan menggantikan
seluruh nada.
Di radio, hanya
tinggal nasehat
dan doa-doa.
Sebelum engkau
pesta akhirat:
saling membunuh,
antar saudara.
Puisi ini tersirat menampilkan tema yang komplek. Hanna membidik
peristiwa besar dengan persoalan-persoalan di dalamnya disajikan secara rumit. Hanna
fokus terhadap persoalan manusia, isu sosial dan ketidakadilan. Kehidupan kota
yang keras dihadirkan oleh Hanna dengan begitu lugas, lalu ia membungkusnya
dengan harapan, bahwa kota bisa saja menjadi suci tanpa dosa. Namun, apakah itu
memang hanya semacam impian semua orang, atau sebenarnya Hanna hendak
menyampaikan sesuatu isu yang tengah berkembang baru-baru ini, dia membungkusnya
dengan metafora.
Jika kita cermati puisi selanjutnya, Hanna memang hendak menyampaikan
peristiwa besar yang terjadi di kota, mungkin kota Jakarta. Puisi ‘Ziarah ke
Kota’ pada bait pertama, Engkau pamit
pergi ke kota, membawa kalung temanmu/yang beda agama. Larik itu
mengisyaratkan hubungan persoalan toleransi dengan peristiwa keagamaan di kota
Jakarta. Ada semacam kritik di dalam puisinya itu, bagaimana dia lirik memiliki
seorang teman yang berbeda agama di kota, kemudian dia pergi untuk mengunjungi
kuburannya. Akan tetapi, keluarganya, orang-orang disekitarnya melarang dan
menertawakan. Hanna ingin menyampaikan sesuatu yang suci, bahwa sesama manusia
mestinya saling menghormati dan menghargai. Di larik terakhir puisinya, Tak ada nama temanmu di sana/Tapi jasadnya
terbaring mesra/di dalam hatimu. Teka-teki penggunaan dia lirik dalam
puisinya itu pun seolah hendak menyampaikan bahwa mereka yang berbeda agama
semestinya selalu ada di dalam hati setiap orang beragama, dijaga haknya
sebagai manusia, sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Hal tersebut tidak hanya terhenti pada persoalan intoleransi, tapi juga
pada persoalan kekerasan dan kerusuhan sosial. Puisi ‘Anjing Punya Rika’ terasa
getir dan sunyi. Peristiwa kekerasan yang muncul pada puisi ini sebagai bentuk
ironi dan sebagai pertanyaan retoris, mengapa kita saling menyakiti hanya
karena rasa takut, benci atau dendam? Simaklah puisinya!
Anjing punya Rika, pergi
minggu lalu
Kedinginan
kelaparan
kena hujan
dan punggungnya luka
dilempar batu
Seorang anak pulang dari sekolah
Ia patuh ajaran
Pak Guru, “Untuk menjadi anak berani, harus belajar melempar anjing.”
Anjing punya Rika,
memandang ke kejauhan, Menggigil kedinginan,
di bawah halte bis
antar kota
Punggungnya luka
memandang dunia
Cukup jekal bahwa Hanna hendak menyampaikan hal yang biasa terjadi namun
memiliki makna yang luar biasa. Ya, ada pertanyaan selanjutnya setelah membaca
puisi tersebut. Mengapa untuk menjadi berani harus melukai?
Berbeda dengan puisi ‘Anjing Punya Saya’, naluri kebinatangan ditempelkan
pada aku lirik, Hanna menunjukan bahwa setiap manusia memiliki sifat kebinatangan
yang senang mencakar, menerkam, memangsa, dan saling membunuh tetapi bukan
hanya karena lapar, melainkan sifat itu dipelihara sehingga menjadi ambisi, dan
ambisi yang berlebihan berakibat pada kegilaan. Kau dan aku/sepasang anjing gila/menyalak/di kaki/ meja makan/Kita
tidak berebut tulang iga, tidak berebut daging/Kita hanya
senang/saling/mencakar.
Hanna masih menyuarakan sikap kemanusiaan melalui puisi berjudul ‘Kucing
Kecilku’. Puisi itu seolah menunjukkan sikap apatis seseorang pada penghakiman
keyakinan antar individu. Ya, dengan kesadaran bahwa beragama adalah hak
pribadi di dunia ini, tak boleh ada pemaksaan kehendak keyakinan pada siapa
saja. Pada larik, Ia menari bersama
orang-orang suci/yang berkumpul untuk membangun tembok agama/dari kata yang
penuhi duka cita: “Pedang menyala. Enyalah mata kafir. Najis Babi. Lendir
anjing …” Larik ini menegaskan bahwa ada semacam pemberontakan pada dirinya
untuk tidak sepakat pada fenomena keriuhan di negeri ini yang beratas-namakan
agama tertentu. Bagaimanapun juga puisi adalah simbol untuk menyembunyikan
makna. Pesan-pesan yang sengaja disembunyikan membuat puisi hidup menjadi bahan
renungan yang sublim.
Puisi berjudul ‘Musyawarah Katak’ semakin menegaskan bahwa penyair
menolak agama dijadikan senjata untuk saling menghancurkan. Sikap Hanna ini
bisa saja dilatarbelakangi oleh kultur leluhur. Namun, siapa pun pasti akan
menolak kehancuran dan permusuhan bukan? Hanna berdiri dengan menyimpan kultur
leluhur di belakangnya dan problem sosial yang kini di hadapinya. Bagaimana dia
harus bersikap?
1.
Nyanyi sore
di kolam kita
biar hujan tak lekas reda.
Putik belimbing daun talas
kamboja kuning
mekar serentak
2.
Gurih udara milik siapa:
kita bernyanyi,
untuk apa?
“Kita bernyanyi untuk semesta.”
“Kita bernyanyi
untuk manusia.”
Bukan. Bukan buat manusia.
Mereka tak akan mampu mendengar
suara. Mereka tak bisa mengintip sunyi,
yang menumbuhkan biji
di subuh hari
“Tapi mereka punya Tuhan.”
“Tapi mereka juga membakar pendosa,
yang berdosa di rumah ibadah.”
3.
Sore bahagia,
ranting dan pohonan
mendengar suara.
Di pojok kebun kolam kita:
Tuhan tersenyum
duduk di sana.
Dalam puisi ini, metafora ditempatkan tidak hanya sebagai wadah
persembunyian makna. Ia juga memunculkan wujud estetika puitik. Itulah salah
satu usaha membangun jurus untuk menyadarkan emosi dan menggugah rasa
kemanusiaan. Dalam hal ini ada usaha untuk mengaitkannya dengan penyadaran
beragama dan berketuhanan. Ada dialog sesama katak yang membicarakan manusia,
kemanusiaan dan ketuhanan. Ini membuktikan satire yang dihadirkan begitu tajam.
Dalam puisi berjudul ‘Perahu Kayu’ dan ‘Baju Orang Biasa’ ada kesan
seruan atau ajakan untuk menjadikan manusia dekat dengan kesadaran dirinya
sendiri, dengan alam, dan denganTuhan. Peristiwa pegunungan, hutan dan
keheningan orang-orang dusun membawa kerinduan pada kedamaian. Pikiran Hanna
seolah tak ingin sesak oleh keruwetan, kerusuhan di kota besar. Dia seakan
ingin mengajak kita berdamai untuk dirinya sendiri, meskipun terkadang mesti
menelan kepahitan dalam menjalankannya.
Peristiwa dalam puisi terkadang sama namun tafsirnya berbeda. Dalam
puisi berjudul ‘Malaikat’. Peristiwa dalam puisi itu terkesan seolah-olah tidak
ada hubungannya dengan judul.
di tanah
cuma cacing mengeliat
sisa hujan
daunan busuk
rengat kayu
di antara suara guntur
tengah hari
laba-laba memintal jerat
serangga terbang
burung elang lapar
anak ayam menciap
dan petir meletus
di telinga
antara rimbun padi
air mengering
dan ular merayap
menuju rumahmu
Begitulah, kata bisa menciptakan citraan yang berbeda, bergantung pada
tombol mana yang ditekan untuk merangsang memori. Kualitas memori pun dilatari
oleh kekayaan pengalaman masing-masing. Hewan-hewan yang dimunculkan pada puisi
ini seolah menjadi simbol untuk menggiring pembaca kepada Malaikat. Lalu
pertanyaannya adalah apakah malaikat di sini sebagai wujud, atau sifat-sifat
malaikat? Nah, di sinilah pentingnya suatu jembatan agar puisi tersebut dapat
dimaknai secara utuh. Hanna seolah sengaja melakukan itu semua sebagai hal yang
biasa. Begitu pun dengan puisi ‘Kuburan Batu’ terasa aroma kegelapan
menyelimuti puisi tersebut, sehingga naruli puisi yang menghidupkan seakan
menjadi mati seperti kuburan pada wujudnya, diam tak bergerak.
Berbeda dengan ‘Puisi Mei’ pada bait pertama Hanna menjadikan seorang
anak sebagai tokoh. Anakku menulis
puisi/Dengan tinta merah/serupa darah. Permulaan puisi itu membawa kita ke hal
yang mengerikan. Mei, adalah namanya, dijadikan tanda untuk menarik dalam
konteks peristiwa Mei 1998. Ada semacam kegalauan pribadi yang tak bisa ditahan
sehingga melahirkan kecemasan peristiwa sejarah. Hanna, tak ingin menjadi
seorang diri yang menjadi saksi, dia menutup puisinya dengan bait, Ia tak tega/jika dari matanya/menyimpan
saksi/kobaran api.
Sementara puisi berjudul ‘Daun’ memberikan aroma semesta yang terasa
kental. Hanna menghadirkan makna yang membuat diri kita menyadari sebagai
manusia. Makhluk yang diciptakan Tuhan tanpa keabadian. Pada larik; Ia ingin kembali/menjadi bumi, muasal
ia/dilahirkan. Daun yang jatuh menyimpan makna bahwa manusia akan kembali
ke tanah. Puisi ini seakan menutup dari puisi-puisi di atas, bagaimanapun
manusia hidup dengan segala pikirannya, prilaku, dan kebudayaannya. Mereka pada
akhirnya kembali kepada sang pencipta dan harus mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya.
Demikianlah puisi-puisi Hanna dalam buku antologi puisi Pemenang
Anugerah Hari Puisi 2013-2017 yang diciptakan olehnya pada tahun 2017. Tampak
jelas jika Hanna hendak memberikan pandangan bahwa dalam diri manusia memiliki
sifat-sifat kebinatangan, dan puisi hadir sebagai agama untuk mengingatkannya.
Jika dia menulis puisi pada waktu yang paling buruk, dapat diakui
kegelisahannya itu pada setiap kata yang dituliskannya, pada peristiwa yang
dihadirkannya, pada tema yang diutarakannya. Hanna seorang penyair yang
membaca, tidak hanya buku-buku sastra, melainkan hal-hal lain yang hadir pada
dirinya. Peradaban kota, persaingan hidup telah membentuk dirinya memiliki
kekuatan untuk berdiri tegar sebagai penyair.
Desember, 2018