Mukadimah
Puisi
lahir dan berkembang lewat jalannya sendiri. Membawa nasibnya entah ke mana.
Puisi memiliki struktur bangunan yang berbeda dengan ragam sastra lainnya. Ia
padat, kuat dan berkarakter hingga puisi hadir dalam ruang yang intisari
semacam ekstraksi yang diperas dari berbagai pengalaman hidup. Tetapi justru
karena itu pula, puisi punya peluang yang luas dan dalam ketika ia sampai pada
penafsiran dan pemaknaanya. Oleh karena itu, suasana di dalam puisi kerap
ditafsirmaknai sebagai kegelisahan penyairnya itu sendiri; suasana batin yang
cenderung bersifat sangat individual ketika berhadapan dengan pengalaman
eksistensial, menyebar sebagai pengalaman bersama. Maka, meskipun penyair
mengangkat berbagai tema, kegalauan individual yang sangat personal itu, akan
ditafsirmaknai sebagai problem sosio-kultural. Segalanya seperti dipulangkan
kembali kepada diri, dan sekaligus dicantelkan pada hakikat kehidupan manusia
yang berlaku universal. Jadilah yang muncul ibarat potret dirinya dalam proses
memberi makna pada kehidupan manusia. Demikianlah puisi, ia memiliki
kepribadian, gaya ucap dan bentuk estetik yang khas, tetapi menyimpan
universalitas.
Penyair
yang baik adalah mereka yang tidak dihantui bayang-bayang. Bukan epigonis,
bukan pembebek. Ia belajar dari kehidupan, pengalaman, dan model estetik
penyair di belakangnya. Ia berada dalam ketegangan: konvensi dan inovasi.
Mereka (seyogianya) membaca puisi lainnya. Itulah yang kita temukan dalam puisi
tiga penyair wanita yang telah menggauli puisi dalam hidupnya. Hanna Fransisca
misalnya, dalam ‘Puisi Mei’, menghadirkan sosok seorang anak sebagai tokoh. Anakku menulis puisi/Dengan tinta
merah/serupa darah. Permulaan puisi itu membawa kita ke suatu hal yang
mengerikan. Mei, adalah namanya, dijadikan tanda untuk menarik pemahaman kepada
peristiwa-peristiwa sejarah yang pernah terjadi, mungkin dalam kehidupannya
atau sejarah yang lain. Ada semacam
kegalauan pribadi yang tak bisa ditahan atau disimpan dalam hati
sehingga melahirkan kecemasan. Peristiwa inilah yang melatari kepribadian
penyair untuk berpuisi. Hanna, tak ingin menjadi seorang diri yang menjadi
saksi, dia menutup puisinya dengan bait, Ia
tak tega/jika dari matanya/menyimpan saksi/kobaran api.
Berbeda
dengan Nissa Rengganis, dalam ‘Kepergian Puisi’, ia menggunakan tokoh Jokpin,
bisa jadi tokoh ini adalah penyair atau tokoh imajinatif lain yang ingin dia
hadirkan sebagai perwakilan daya ucap pada puisinya. Pada bait Jokpin meneguk kopi/Untuk bait-bait puisi/Ia
terus sabar menunggu/Sampai Tuhan membuka tubuhnya/Hingga hilang perih lapar di
lambungnya/Hingga kantuk matanya/Berhasil menangkap kata-kata. Tokoh ini,
seperti cerminan penyairnya sendiri, bagaimana ia begitu intim pada proses
pembuatan puisi. Nissa seolah tak ingin kehilangan kegelisahannya sebagai
penyair. Puisi tidak hanya rangkaian kata menjadi kalimat, frasa, bait atau
alinea. Puisi bagi Nissa adalah kehidupan penyairnya, dan bagaimana jika puisi
meninggalkan penyairnya? Jika puisi sudah tak dimiliki penyiar, bisa jadi
penyair itu sudah kehilangan kegelisahannya, atau hidupnya sendiri. Pada
penutupan puisinya, jelas Nissa menggambarkan itu, bahwa penyair dan puisi tak
akan terpisahkan. Aku bertanya: Sudah
sampai mana kegelisahanmu?/Sudah sampai pada ubun di kepala/dan keriput di
wajahku.
Ni
Made Purnama Sari, penyair perempuan ini menempatkan puisi pada posisi yang
suci, bisa jadi untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Dalam puisi ‘Doa
Puisi’, Ni Made telah menjadikan penyair dan puisi sebagai energi untuk
menghidupkan. Misalnya pada larik pertama, Di
stasiun karet aku menunggu bukan untuk chairil/puisi orang mati atau keluh
sebuah kota yang berubah. Ada semacam energi untuk membangkang agar dirinya
tidak terlena dengan puisi atau kehidupan penyair yang telah memengaruhi
kehidupan dalam berproses menjadikannya penyair. Ni Made menyadari kekuatan
puisi dapat menggerakan seluruh indera dalam dirinya atau orang lain. Puisi
baginya sebagai alat perubahan, pembangkit diri untuk selalu menuju pada dunia
yang teduh disaat segalanya tampak riuh dan gemuruh. Ni Made telah menemukan
makna puisi sebagai doa yang dipanjatkan oleh setiap orang kepada yang dicintai
dan dikasihi. Sehingga, katanya: Semua
yang mati/hidup bangkit kembali karena doa puisi.
Itulah
energi puisi bagi penyair. Ia tidak hanya hadir sebagai kata-kata melainkan
suatu gerakan perubahan dalam sejarah kehidupan manusia. Jika bagi penyair
puisi begitu besar pengaruhnya, mengapa kita masih memperdebatkan puisi,
tidakkah kita sunyi sejenak menikmati kesuciannya? Salam Puisi!
Hanna Fransisca
Puisi Mei
Anakku menulis
puisi.
Dengan tinta merah
serupa darah.
“Di taman kota ada
burung mati, Mama.
Aku ingin
mendekap, dan menguburkannya.”
Tapi ibu keburu
cemas,
Menyuruhku segera
berlari.
“Cepatlah
bergegas, Mei,
orang-orang
berjubah putih
akan tiba sebentar
lagi.
Mereka membawa
bendera
Bertuliskan nama
Tuhan Maha Penyayang.”
“Alangkah kasihan
burung kecil itu, Mama. Apakah malam
ini tubuhnya
kedinginan? Seperti tubuh ibu,
yang menggigil
ketakutan semalaman.”
Aku ingin menyalin
puisi itu, anakku,
dengan tinta biru
serupa warna taman di surga
yang dipenuhi
nyanyian cinta. Agar engkau segera tidur,
dan melupakan
ingatan burung mati
dalam igaumu.
Tuhan telah
mengambil nyawanya,
Sebelum huru-hara
tiba, Mei,
Sebab Tuhan begitu
lembut,
Bahkan kepada
burung.
“Ia tak tega
Jika dari matanya,
Menyimpan saksi
Kobaran api.”
Jakarta 2017
Hanna Fransisca, lahir di Singkawang, Kalimantan Barat, 30 Mei 1979. Ia menempuh pendidikan hinggal lulus SMP dan belajar menulis secara otodidak, lewat dunia maya dan bacaan. Cerita pendeknya pertamanya Darahku Tumpah di Kelenteng, terpilih sebagai salah satu cerpen pilihan Jakarta International Literary Festival 2008. Salah satu naskah lakonnya, Kawan Tidur dibacakan oleh Saturday Acting Club dan Teater Tetas dalam Indonesia Dramatic Reading Festival 2010. Dia juga menulis sejumlah esai dan tulisan-tulisan motivasi. Puisi-puisinya juga dimuat di beberapa media massa, seperti Kompas, Suara Merdeka, Koran Tempo, Horison dan lain-lain. Buku kumpulan puisi tunggalnya adalah Konde Penyair Han (2010), Benih Kayu Dewa Dapur (2012). Minatnya yang tinggi untuk bersekolah menuntunnya untuk berkuliah di Jurusan Psikologi. Dia terpilih sebagai tokoh sastra versi majalah Tempo (2011).
Nissa Rengganis
Kepergian Puisi
Seorang yang lusuh
dari dirinya
Sibuk
membolak-balikkan koran pagi yang basi
Peristiwa itu-itu
saja
Wajah yang selalu
begitu
Kopi yang ia reguk
berulang kali
Tidak juga
meredakan segala gelisahnya
Di antara
kemacetan jalan
Aku melihat Jokpin
Membawa
kecemasan-kecemasan
Menyeduh beragam
macam kopi
Juga puisi
Ia memesan kopi
yang lebih hitam dari kantung matanya
Kopi yang lebih
asing dari dirinya
Jokpin meneguk
kopi
Untuk bait-bait
puisi
Ia terus sabar
menunggu
Sampai Tuhan
membuka tubuhnya
Hingga hilang
perih lapar di lambungnya
Hingga kantuk
matanya
Berhasil menangkap
kata-kata
Ia terus menyeduh
kopi
Matanya menatap
kejauhan
Entah apa yang ia
bayangkan
Barangkali
kerinduan
Atau sekadar
kenangan
Pada keduanya
puisi ia terus hidupkan
Aku bertanya:
Sudah sampai mana
kegelisahanmu?
Sudah
sampai uban di kepala
Dan
keriput di wajahku
Yogyakarta, 2016
Nissa Rengganis, lahir di Kota Cirebon, 08 September 1988. Menyelesaikan sarjana di Ilmu Politik Unsoed Purwokerto. Semasa kuliah bergiat di Teater SiAnak dan mengelola komunitas Terang Sore yang fokus pada budaya literasi. Ia juga terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi Fisip tahun 2010. Aktif menulis esai politik maupun sastra di berbagai media dan sempat menjadi jurnalis magang di Suara Merdeka. Puisi-puisinya tergabung dalam antologi bersama Ibu Kota Keberaksaraan, Jakarta International Literary Festival 2011, Di Kamar Mandi, 62 Penyair Jawa Barat-Komunitas Malaikat Bandung 2012, Sauk Seloko, Penyair Nusantara Jambi 2012, Negeri Abal-Abal, Titik Temu, Komunitas Kampung Jerami 2014, dan lainnya. Buku kumpulan puisi tunggalnya Manuskrip Sepi menjadi Buku Puisi Pilihan Hari Puisi Indonesia 2015. Saat ini ia bersama teman-temannya mendirikan dan mengelola Rumah Kertas—rumah sastra yang dihuni anak-anak muda di Cirebon. Saat ini ia menjadi dosen politik di Universitas Muhammadiyah Cirebon.
Ni Made Purnama Sari
Doa Puisi
Di stasiun karet
aku menunggu bukan untuk chairil
puisi orang mati
atau keluh sebuah kota yang berubah
Nasib buruk
berulang lewat
membujuk siapa
saja untuk lekas berangkat
Adapun waktu
diam-diam menyamar
kepala stasiun
atau penjaga loket
yang letih dan payah
selalu memintaku
bersitahan menunggu
Mereka menawarkan
tiket
menuju dunia baru
yang tak pernah kutahu:
Dunia tempat
penyair chairil hidup abadi
dan bercinta tak jemu di gerbong tua
kereta
Dunia yang jadi
rumah teduh
bagi kotaku yang jauh berubah
Baru saja seekor
burung menukik dari langit yang nun
menyelusup dalam
pikiranku
Suara kicaunya
beri warna pada kata-kataku
Lalu kudengar
kereta sayup mendekat
membuka pintunya
di hadapanku
menampilkan ruang
remang sepi penumpang
Semua yang mati
hidup bangkit
kembali karena doa puisi
Ni Made Purnama Sari, lahir di Bali, 22 Maret 1989, menulis puisi, prosa, dan esai. Dia menamatkan studi antropologi di Universitas Udayana dan Magister Manajemen Pembangunan Sosial di FISIP Universitas Indonesia. Buku puisi pertamanya, Bali-Borneo, meraih Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi Indonesia 2014 dari Yayasan Sagang dan Indopos. Naskah manuskripnya meraih Juara II Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015, terbit dengan judul Kawitan (2016). Buku novel berjudul Kalamata (2016). Ia terpilih mengikuti berbagai program penelitian, Residensi Sastrawan Berkarya dari Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud (Nunukan-Kalimantan Utara, 2016), residensi penulis dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (Melbourne, 2017), dll. Selain mendirikan Komunitas Sahaja di Bali, dia sempat bergiat di TEMPO Institute, kurator fiksi-budaya di Indonesiana TEMPO, kontributor, hingga asisten editor buku-buku memoar dan terjemahan. Kini ia bergabung dalam tim bidang program di Bentara Budaya Jakarta.