oleh Maman S Mahayana
Puisi ibarat sebentuk
makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir.
Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa
dicantelkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri
kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa
menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa
mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika
kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada
serangkaian peristiwa yang disembunyikan.
Tidak jarang pula, puisi
membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi.
Puisi-puisi yang memamerkan logika jumpalitan adalah satu contoh. Ada pula
penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya
hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri penyairnya sendiri. Meski begitu,
pembaca tokh tetap saja seolah-olah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa
estetik tersentuh (aesthetic contact).
Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili
perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi
dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa
larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi,
sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau,
misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini
juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan
ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana … yang dikutip dari
puisi Sapardi Djoko Damono.
Tentu saja kita masih
dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang
lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam
puisi.
***
Entah kapan saya pertama
kali membacai puisi “Tempuling” karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang
hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada
semacam panggilan untuk membaca dan membacainya kembali. Dan selalu lagi, ada
sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi
kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu
menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan
atau terkadang menclok tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara
lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk
puisi yang berjudul “Tempuling” itu pun, seperti lesap begitu saja lantaran
tangan mengklik file lain dari folder yang lain.
Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis,
di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan
saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K
Liamsi.
Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan
terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, Ode
X (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting
seperti –sekadar menyebut beberapa—Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe
Amanriza atau Sutardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di
Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS,
Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Daood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan
Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan.
Lalu, cukup lama namanya senyap.
Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam
pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun
pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya
mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang
mengingatkan pada makanan tradisional, dadarguling. Tempuling,
makhluk apakah gerangan?
Meski terlalu banyak kosakata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan.
Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan
besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm.
1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad
Rangkuti—yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini
Indonesia Indah, 28 Agustus 2008—bertanya tentang makna kata tempuling.
Secara harafiah, ada pemahaman tentang kata itu. Tetapi secara filosofi,
maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin.
Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam
gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan
Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna
kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk “Tempuling” itu laksana
melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya
seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di
sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing.
Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan
dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya
masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh
di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati
novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah yang
novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah
cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku
Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian,
melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan
Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan
yang direpresentasikan atas nama Raja dan Penguasa, reputasi dan keagungan
puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil
membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan
hanya kematian yang dapat memisahkannya.
Kembali, makhluk ajaib
yang bernama puisi bertajuk “Tempuling” itu seperti dicancel lantaran
tangan mengklik file lain.
***
Pada akhir Agustus 2009,
saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul,
Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat
terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak
lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling,
terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya
dan saya berkesempatan membongkar-bongkar file lama tentang puisi ajaib
yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba
memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai!
***
TEMPULING
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi
yang kini telah menyerah?
Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
Yang jauh dan ngilu
Di antara cuaca
Dan gemuruh karang
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah
: Tuhan
Diakah kini
yang telah menyerah?
telah
kalah?
: Tuhan
Dia memang telah
berbisik
Pindahkan
pancang
sebelum
pasang
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai
waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
di antara
tungku
menunggu gelap
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan pelupuk raya
telah basah
: Tuhan
Bawalah
seorang menemukannya
menguburkannya di antara pantai
memberikannya
satu tanda
dan jangan
biarkan arus
membawanya
jauh ke lubuk dalam
yang aku pun
tak tahu
di mana akan
kutuliskan
rinduku.
Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang
tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita
menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai.
Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang
segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai
atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi,
dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara
semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir
pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair
kita?
Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti
tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah,
dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan
sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang.
Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan
begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia
tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada
bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak.
Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat
perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan
begitu, tempuling –tombak pendek—itu masih mungkin digunakan lagi (untuk
menangkap ikan besar).
Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol
heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh), atau mandau
(Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang
nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan
itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih
mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari
sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak
hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak
dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikuti laju ikan berenang,
kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si
nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian,
keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas
ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan
atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di
belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling
laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu
akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara!
Ingat saja, bagaimana nelayan tua—dalam novel Lelaki Tua dan Laut—Ernst
Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan
perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan
boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai
nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya,
siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu
lalu membawanya pulang. Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan
sejati, sebagai jawara. Meski hiu raksasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh
lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi,
profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi
masyarakat akan datang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi
atas profesinya itu.
Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang
ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang
penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang
gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling
tersadai di gigi pantai/sehabis badai// mengisyaratkan sebuah
kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh
kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan
tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya.
Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak
menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu
boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun
tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka,
keluarga si nelayan dan masyarakatnya akan menempatkan tempuling yang tersadai
itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada
heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid!
Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir
atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi,
sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik
segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir,
apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise.
Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang bercerita tentang pantai
dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai),
seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi
sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu.
Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi,
punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di
dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak
lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata
gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut
mahaluas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang mahaluas, dan
pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga
menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah
“serpih” yang tersisa di antara deretan gigi itu. Dengan begitu, tempuling yang
tersadai di gigi pantai mengesankan semacam sisa atau serpih muntahan
mulut alam yang bernama laut.
Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi
seperti di bawah ini. Tentu itu juga bukan tanpa alasan.
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa
sebelum keterangan … sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu
tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan
ombak-badai –mulut alam—yang bernama laut.
***
Mari kita coba menelusuri larik berikutnya: seorang bocah menemukannya/sehabis
sekolah. Kini, kita berjumpa dengan semacam paradoks: tempuling—tombak
pendek yang (hanya) digunakan oleh nelayan sejati, nelayan yang sudah sangat
berpengalaman dengan berbagai keterampilannya hidup di tengah laut, dihadapkan
dengan seorang bocah—dan tidak anak-anak atau anak kecil—sehabis sekolah.
Kembali, pola tipografi yang tidak rata kiri pada dua larik itu menunjukkan, bahwa
sebelum sekolah, ada kisah lain yang menyertai si bocah. Bukankah para
pelajar—anak-anak sekolah— pada umumnya biasa langsung pulang (ke rumah)
selepas bubar sekolah. Mengapa si bocah ke pantai dan menemukan tempuling?
Ada dua tafsir yang dapat kita terjemahkan atas dua larik itu.
Pertama, sehabis sekolah, anak-anak nelayan terbiasa bermain di pantai atau
laut, sebelum pulang ke rumah. Ini mengisyaratkan, bahwa laut, pantai dengan
segala ombaknya, sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan
mereka sejak masih bocah. Laut adalah sumber penghidupan, sekaligus juga
sebagai lapangan tempat bermain mereka.
Lihatlah anak-anak nelayan atau mereka yang menjadikan laut sebagai tempat
bermain dan menghabiskan waktu luang. Lihatlah para bocah yang menjadikan
dermaga Merak—Bakauheni atau Gilimanuk—Ketapang—Banyuwangi, sekadar menyebut
beberapa pelabuhan, sebagai lapangan permainan mereka. Bagaimana mereka dengan
mata telanjang bisa begitu piawai menangkap keping-keping uang logam yang
dilemparkan para (calon) penumpang kapal. Keterampilan yang diperlihatkan para
bocah itu tidaklah datang seketika, melainkan lewat proses panjang pengalaman
mereka dalam bermain-main dengan laut. Laut adalah lapangan permainan mereka.
Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang laut tidak diperoleh berdasarkan
teks buku di sekolah, melainkan berdasarkan pengalaman hidup. Mereka adalah
anak-anak laut. Jika kelak mereka menjadi nelayan, mereka sudah mengenal dengan
sangat baik karakteristik laut dengan segala macam keganasannya. Maka, jangan
tanya mereka rasa air laut, sebab jawabnya tak akan berhenti pada satu kata:
asin, melainkan berbagai jenis rasa asin dan air laut wilayah mana yang
dicecap.
Nah, si bocah, boleh jadi menemukan tempuling itu, sehabis bermain-main di laut.
Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu adalah dunia masa depan si bocah, tetapi
laut juga sekolah alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.
Jadi, frasa sehabis sekolah mengisyaratkan dua makna: dalam
pengertian referensial dan sekaligus juga dalam pengertian metaforis.
Kedua, larik-larik: Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah//
dimaksudkan sebagai paradoks situasional. Dua larik awal: sebatang tempuling
tersadai di gigi pantai/ sehabis badai// adalah realitas
kehidupan (nelayan) yang menempatkan laut dengan segala keindahan dan
keganasannya sebagai sekolah alam; dunia real yang sesungguhnya selalu
menyimpan misteri tentang kehidupan dan kematian ketika seseorang pergi
mengarunginya. Dua larik berikutnya, Seorang bocah menemukannya/sehabis
sekolah// mewartakan dunia ideal kehidupan masa depan generasi baru.
Sekolah adalah wadah segala idealisme tumbuh dan berkembang. (Seharusnya) tidak
ada keganasan di sana. Sekolah adalah kehidupan yang tak menyimpan misteri
kematian, karena segalanya berjalan tertib dan baik-baik saja.
Begitulah, sehabis badai dan sehabis sekolah adalah repetisi
yang hendak memberi tekanan pada sebuah paradoks tentang dunia real
(badai) yang ganas—penuh misteri dan dunia ideal (sekolah) yang tertib dan
baik-baik saja. Meskipun begitu, si bocah yang hidup dalam dunia ideal itu,
juga tidak dapat menghindar dari tarikan sekolah alam—laut—yang sudah menjadi
bagian dari lapangan permainannya. Oleh karena itu, penemuannya tentang
tempuling diyakini sebagai isyarat terjadinya tragedi bagi nelayan. Tempuling
menjadi berita duka. Tuhan/Siapa lagi yang kini telah
menyerah? tidak lain adalah kabar kematian. Maka, yang segera muncul adalah
pertanyaan: siapa yang menjadi berita dan berita itu untuk siapa?
Pertanyaan—siapa—sesungguhnya lebih merupakan gebalau kerisauan si bocah
atau sesiapa pun. Sebab, bisa saja jawabannya: orang kampung seberang, si anu
yang tinggal di situ, tetangga kita, paman, atau bahkan ayah! Jawaban terakhir
itulah boleh jadi yang mengguncangkan si bocah, sebab ia sama sekali tidak
menangkap isyarat apa pun yang bakal mengantarkan (sang ayah) pergi selamanya,
sebagaimana dikatakan: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir
nasib/ tak tercatat luka musim// Jadi, pada mulanya, segala berjalan
baik-baik saja, meski laut tetap saja menyimpan begitu banyak misteri.
Ketiga larik itu, dapat pula kita tafsirkan sebagai pesan penyair hendak
menegaskan, betapa dahsyat berita duka itu. Betapa terguncangnya perasaan si
bocah—yang dalam peribahasa klise dikatakan: seperti petir di siang bolong.
Dan tiba-tiba saja, tempuling ditemukan tersadai—sebuah berita kematian!
Penyair menggambarkannya dengan metafora yang seolah-olah, alam pun tidak
menghendaki peristiwa tragis itu terjadi: Kecuali tangis ombak/ Pekik
elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh
karang//.
Kembali kita menemukan adanya paradoks situasional pada kedua bait tadi.
Jika bait sebelumnya mewartakan semuanya baik-baik saja, lantaran tak ada
tanda-tanda atau isyarat apa pun: Tak terlihat tanda-tanda/tak
tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// maka bait
berikutnya: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan
ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang// justru
sesungguhnya menyampaikan isyarat-isyarat. Ombak, elang, cuaca, dan karang
adalah warga laut yang sering kali dijadikan panduan bagi nelayan ketika (akan
berangkat) berlayar. Lalu, mengapa pula tragedi itu masih terjadi juga? Itulah
misteri laut. Maka penyebutan Tuhan di sana sebagai representasi dari rahasia
Tuhan. Bukankah pengetahuan manusia tentang Tuhan bagai setitis air di
samudera? Oleh karena itu, si bocah (atau penyair?) mengembalikan misteri laut
itu pada Tuhan, sebagaimana dinyatakan pada bait berikutnya: Tuhan/Diakah
kini yang telah menyerah?/telah kalah?/
Pada bagian ini, segera
muncul pertanyaan: mengapa dia “menyerah” “kalah”? Meski bagi saya kata
“menyerah” dan “kalah” kontradiksi dengan simbolisasi tempuling yang tersadai,
pengulangan adverbia (kata keterangan) telah yang mengantarkan menyerah
dan kalah (telah menyerah/telah kalah), punya makna lain
yang berkaitan dengan pesan yang hendak disampaikan penyair. Bukankah penyair
bisa saja menghilangkan adverbia (kata keterangan) itu, sehingga bunyinya lebih
tegas dan padat: Diakah kini yang menyerah?/ kalah?// Mengapa
harus ada adverbia yang maknanya secara sintaksis tidak berbeda?
Di sinilah uniknya
puisi! Selalu, setiap kata perlu dicurigai menyimpan pesan. Maka penghadiran
adverbia –telah— yang mengantarkan menyerah dan kalah itu, boleh
jadi dimaksudkan sebagai penegas, sebagai tanda seru, sebagai eksplisitasi,
bahwa dia sudah benar-benar tumbang, menyerah pada keganasan alam, kalah oleh
takdir yang sudah digariskan Tuhan. Perhatikan lagi pilihan penyair pada kata gigi,
dan tidak memakai kata gigir, pinggir, atau bibir. Tentu
pilihan pada kata itu bukan perkara –meminjam pernyataan Sutardji Calzoum
Bachri—salah ketik. Dengan begitu, penghadiran adverbia itu pun dilakukan
dengan kesengajaan untuk menegaskan, bahwa dia telah sempurna pergi
selama-lamanya. Dia tidak akan kembali lagi sebagai pahlawan yang membawa
pulang ikan dengan tempuling masih dalam genggamannya. Kini tempuling telah
tersadai dan dia sempurna tidak bakal kembali lagi. Dia pulang ditelan alam.
Oh, rupanya tanda-tanda
tidak akan kembali itu sudah pula diisyaratkan sebelumnya. Ada semacam pesan
terakhir atau wasiat. Pindahkan pancang/sebelum pasang// Apa pula
maknanya pesan itu? Bagi saya, larik dengan persajakan yang indah itu, bukan
sekadar permainan bunyi, tetapi juga menyimpan pesan filosofis yang seperti
merepresentasikan karakteristik dunia Melayu. Seperti cogan: “Sekali layar
terkembang, pantang surut ke belakang,” dua larik itu, Pindahkan
pancang/sebelum pasang// juga dapat diperlakukan sebagai cogan, bahwa menghadapi
segala apa pun dalam kehidupan ini, diperlukan antisipasi, perencanaan,
persiapan, kalkulasi, dan perhitungan matang, sebelum segalanya terlambat,
sebelum datang penyesalan.
Lalu, apa pula maknanya
dalam konteks pesan puisi itu? Dia lirik (: para nelayan) rupanya punya
kesadaran, bahwa laut, sumber penghidupan dan lapangan perjuangannya, bukanlah
tempat yang ramah. Bahwa setiap keberangkatan pelayaran—menangkap ikan— selalu
di belakangnya, tertinggal pertanyaan: akankah dia pulang membawa kemenangan
atau seperti ditegaskan dua larik sebelumnya: menyerah/kalah!
Dengan kesadaran itulah, setiap anggota keluarga nelayan, harus selalu siap
menerima berita duka, melihat tempuling tersadai di gigi pantai.
***
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai
waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
di antara
tungku
menunggu gelap
Bait ini—dengan kemunculan
aku lirik—seperti memberi jarak waktu antara peristiwa yang dihadapi si bocah
ketika awal menerima berita kematian dan ketika teringat pada seseorang yang
ditelan alam. Adanya keberjarakan antara aku lirik dan si bocah menunjukkan,
bahwa penyair coba mempermainkan posisi pencerita. Si bocah berada pada posisi
yang –terpaksa—harus menerima begitu saja pada sang nasib: kehilangan seseorang
yang (mungkin) menjadi kebanggaan atau tonggak keluarga. Pilihan kata bocah
dan tidak anak (kecil) atau anak-anak menunjukkan seseorang yang berada pada
usia yang tidak perlu memikirkan apa pun, kecuali bermain. Dan tiba-tiba, ia
melihat tempuling, sebuah berita kematian! Maka, segalanya bagi si bocah
seperti kiamat untuk sebagian hidupnya, kiamat pula bagi masa depannya.
Kini: Hatiku memang telah terusik// bagai kenangan masa itu yang
datang lagi. Ia merasakannya seperti: daun waru yang jatuh, tersangkut di
tingkap, lalu mengering dan jatuh lagi menunggu kembali menjadi tanah. Bait ini
sungguh kuat menghadirkan citraan alam (daun) sebagai analogi sosok manusia
yang tumbang, menunggu segalanya tumpas sempurna. Perhatikan juga pola
persajakannya yang cantik dengan perhatian pada persamaan bunyi: waru—gugur,
lesap—lewat—tingkap, tersuruk—tungku—menunggu, di antara—gelap. Penyair
tampaknya sadar betul pada kekuatan persajakan, sebagaimana yang terdapat pada
pantun atau syair. Tetapi, kekuatan persajakan tanpa metafora, tak cukup kuat
mendukung pesan tematik. Di situlah kesadaran penyair membangun citraan alam
berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita untuk membayangkan daun jatuh
sebagai analogi kematian seseorang.
***
Berbeda dengan kisah bocah
yang terdapat pada bait-bait awal, kini si bocah (masa lalu) itu, berada dalam
ingatan aku lirik. Ada semacam garis kenangan yang menghubungkan peristiwa dulu
yang dialami si bocah dengan aku lirik yang masih menyimpan peristiwa itu
sebagai catatan perjalanan hidupnya yang tidak mudah punah. Maka, yang
diingatnya dulu, bukan hanya si bocah yang menangis, melainkan juga alam raya
yang ikut merasakan kedukaan itu. Sebuah tragedi individual yang sebenarnya
berlaku bagi masyarakat nelayan, bahkan juga universal. Bukankah siapa pun akan
mengalami kedukaan yang dahsyat ketika seseorang yang menjadi tonggak keluarga,
tiba-tiba harus pergi selamanya. Dan lebih tragis lagi ketika jasadnya tidak
diketahui entah berada di mana.
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan pelupuk raya
telah basah
Kini segalanya sudah
terjadi. Biarlah peristiwa itu tetap sebagai kenangan masa lalu, meski selalu
dan selalu ia hadir kembali. Jadi, tidak perlu pula memelihara penyesalan. Jika
pun masih tersisa harapan, cukup satu saja: jasadnya ditemukan, sehingga sang
mendiang dapat dikuburkan sebagai tanda, telah berpulang nelayan sejati! Dan
tempuling akan menjadi saksi bicara tentang totalitas hidup di tengah laut,
tentang kepahlawanan seorang nelayan! Perhatikan larik-larik di bawah ini
: Tuhan
Bawalah
seorang menemukannya
menguburkannya di antara pantai
memberikannya
satu tanda
dan jangan
biarkan arus
membawanya
jauh ke lubuk dalam
yang aku pun
tak tahu
di mana akan
kutuliskan
rinduku.
Bait akhir ini makin
memperjelas hubungan si bocah dengan aku lirik. Di situ, melalui siasat penyair
mempermainkan posisi pencerita, kita (: pembaca) dibawa pada sebuah pesan,
bahwa si bocah masa lalu, kini menjelma menjadi aku lirik. Meski tak selalu identik
aku lirik dengan penyair, setidak-tidaknya, penyair Rida K Liamsi ini, punya
sejarah masa lalu yang berkaitan dengan tempuling: simbol kepahlawanan seorang
nelayan. Jika pada tiga larik terakhir tertulis: yang aku pun tak tahu/di
mana akan kutuliskan/rinduku// boleh jadi, puisi ini merupakan
representasi gebalau perasaannya yang tak mudah luput dari rindu pada masa
lalu. Dan puisi “Tempuling” telah memancarkan mukjizatnya!
***
Tafsir puisi “Tempuling”
ini, boleh jadi di sana-sini terjadi semacam intentional fallacy. Meski
begitu, hal tersebut tetap sah sejauh ada argumen yang melandasinya. Di situlah
sesungguhnya mukjizat puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi. Ia
menyimpan begitu banyak misteri yang selalu membawa pembaca pada kisah besar di
luar teks. Puisi “Tempuling” adalah kisah kepahlawanan nelayan, dan Rida K
Liamsi telah merefleksikannya dalam larik-larik pendek, kemas, padat, dengan
permainan persajakan dan metafora yang cerdas, dengan kualitas diksi yang tak
basi.
“Tempuling” sebagai pengalaman individual
penyair, telah menjelma menjadi kisah besar tentang kepahlawanan nelayan
sejati. Maka, puisi “Tempuling” makin meneguhkan keyakinan saya, bahwa penyair
(: sastrawan) adalah juru bicara kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya.
Semoga begitu!
Seoul, 17 September 2012