oleh
Nana
Sastrawan
Suatu sore di Gedung Perpustakaan Nasional usai menyaksikan pembacaan
puisi, saya dikejutkan oleh penyair wanita yang menyodorkan sebuah buku puisi.
Awalnya, saya ragu ketika dia meminta saya menerimanya sebagai hadiah. Pertama,
saya mengenalnya belum terlalu lama. Kedua, membaca dan berusaha memahami puisi
bagi saya adalah pekerjaan yang berat dan rumit. Masalahnya, karena tidak
sedikit puisi yang metafora atau pesannya terlalu gelap, sehingga sulit
dipahami. Ketiga, saya memang belum memiliki uang lebih untuk membelinya. Meskipun
dia dengan tulus berkata bahwa buku itu sebagai hadiah tanda persahabatan, tetap
saja, bagi saya, membeli buku puisi adalah hal yang mulia. Dengan malu-malu,
akhirnya saya menerima juga buku puisinya.
Puisi. Ya, puisi. Berbagai definisi dan rumusan puisi disampaikan oleh
para kritikus dan teoretikus sastra dengan sudut pandang yang beraneka ragam.
Sampai saat ini belum ada yang memuaskan semua pihak. Puisi menjadi hal yang
gaib. Dia menyusup ke segala penjuru, suku, agama, bangsa dan pikiran-pikiran.
Melahirkan perdebatan, sengketa, perkubuan antar- kelompok, komunitas dan golongan.
Puisi juga menjadi senjata yang membuat pembacanya merasa terkoyak-moyak. Dalam
karut-marut itu, saya kadang gemetaran ketika membaca puisi. Tetapi, penyair
wanita ini hanya tersenyum, seolah berkata, “Jika kau tak baca pun, tak jadi
soal. Aku hanya ingin menulis puisi dan membagikannya kepada orang-orang
tertentu.” Ah, tak kuasa saya menatap wajahnya. Segera saya sembunyikan rasa malu ini dan bergegas
pamit.
Ni Putu Putri Suastini. Bunga Merah. Antologi puisi. Begitulah tulisan
yang tertera di sampul bukunya. Setelah duduk di mobil tumpangan, saya baca
ulang. Ada sebait puisi yang tertulis di sampul bagian bawah, seperti ini:
Bunga Merah mekar tak lelah
sesiapa menyiram
jelantah di jejak langkah.
Berulang kali saya baca bait puisi itu. Pikiran mulai menerka-nerka, apa
maknanya? Mengapa itu yang dipilih dan diterakan di sampulnya? Perlahan, saya
dapat menduga bahwa bait puisi itu memang memiliki kekuatan gaib. Bunga adalah metafora yang sering
digunakan untuk menyembunyikan makna lain sosok wanita. Merah kerap dimaknai sebagai keberanian, kemarahan atau ketegaran. Dan,
kata jelantah, jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti
minyak goreng bekas pakai. Ah, mengapa pula Bunga Merah itu disiram jelantah? Boleh
jadi pesannya sebagai isyarat, bahwa orang yang menyiramnya tidak punya pikiran
dan perasaan, atau entah apa?
Penarasan! Saya buka buku itu dan mencari puisi utuh dari Bunga Merah:
Simaklah!
Perciknya merayap di bongkah hati
gelegak darah terobos sumbatan nadi
berpangkal kata tak bertuah
bangkitkan resah
Lidah-lidah bunga merah melesat
searah hempasan hati yang membadai
Menyingkirlah dari amuknya!
Kau jadi debu dalam detik waktu
pokok pohonmu kering rapuh
jadi tumbal kalap lalapnya
Dahanmu seempuk tulang rawan
tak kan mampu menahan beban
maka ada yang kau jaga dari bringas
tersembunyi di balik kelopak
Bunga merah mekar tak lelah
Sesiapa menyiram jelantah di jejak langkah
Alamak! Puisi ini meyakinkan
saya bahwa seorang Ni Putu Putri Suastini hendak memberi peringatan kepada
siapa pun yang berani menghancurkan perempuan, karena itu adalah pekerjaan yang
sia-sia. Meski bisa saja ada tafsir lain, jika diamati sesuatu yang mekar
adalah hal yang paling indah, dan keindahan yang akan dihancurkan, akan berhadapan
dengan ketidakberdayaan. Keindahan akan hadir dalam wujud yang berbeda, rasa
yang lain, dan dalam suasana jiwa yang juga berbeda.
Saya baca puisi-puisinya dari awal. Tampaknya, Ni Putu kerap dilanda keresahan
dalam perjalanannya, Dia sadar, ada ketidakseimbangan dalam kehidupan ini;
rutinitas manusia yang cenderung fokus terhadap satu sisi. Kesan yang saya
tangkap adalah: Ni Putu hadir sebagai penyair wanita yang senang berpetualang
dari kota ke kampung atau sebaliknya; dari gunung turun mengarungi laut; atau tersesat
dalam rimba belantara. Meskipun begitu, laut sepertinya sangat dekat dengan
kisah-kisah perjalanannya. Dalam puisi “Di Tengah Jalan” (hlm. 49), Ni Putu seolah
ingin meyakinkan diri bahwa perjalanan akan melahirkan sesuatu; perjalananlah
yang membentuk dirinya menjadi penyair.
Masih kuteruskan langkah; di tengah jalan!
seperti camar risau pada asin laut
mematahkan sayap di tebing cadas
dihempas gelombang mengganas
Di tengah jalan keterbitan rindu
mengembalikannya pada sunyi pertapaan
meranggas ke puncak meru
merdu tembang memuja
kepada hyang penghuni kahyangan
Di tengah jalan kita bersimpang tuju
kukubur segala kenangan tanpa nisan
keindahan bagai kerakap yang menyerah pada bebatuan
didera rindu, kubiarkan candi-candi angkuh membisu
Perjalanan penyair adalah pengelanaan spiritual. Dia menangkap berbagai
peristiwa, merasakan segala kegundahannya, lalu meramunya secara melankolis dan
individualis. Meski begitu, Ni Putu tampaknya tidak ingin terjebak dalam kesendiriannya.
Dia sadar jika kehidupan di dunia yang memiliki berbagai macam kebiasaan, tradisi,
adat, dan budaya. Ni Putu, ingin berperan sebagai penyair yang utuh dan sampai
pada titik klimaks. Menjadi pemuja hal yang gaib dengan pikiran dan perasaan
yang riuh dilanda kegelisahan spiritual.
Begitulah penyair. Meskipun dia berprofesi apa pun, bahkan sebagai ibu
rumah tangga sekalipun, penyair dituntut mempunyai kemampuan merekam segala
hal, mengeluarkannya dengan kata-kata yang menghipnotis, sehingga siapa pun
yang membacanya, akan jatuh masuk ke dalam dunia puisi, terperangkap oleh keistimewaannya.
Perjalanan Ni Putu rupanya tidak cukup sampai “Di Tengah Jalan”. Dia
telah menggauli berbagai macam kebudayaan. Hidup di Bali memiliki pengalaman
tersendiri. Dia dekat dengan kisah-kisah spiritual Hindu. Kedekatannya itu
memunculkan pandangan baru. Dia mulai merambah ke dalam kisah-kisah yang
mengharukan, menghadirkan amarah, kepedihan, kesengsaraan, keabadian, keindahan,
dan karma. Manusia mesti menyadari makhluk lain, alam yang ditopang dunia lain,
keseimbangan adalah jawaban untuk mencapai kemurnian jiwa.
Kehidupan modern dan pengaruh kebudayaan Barat telah menghinggapi
manusia yang berada di sekitar dirinya. Ada kekecewaan, kemarahan, dan sikap
seorang perempuan yang cenderung sentimental, sebagaimana tampak dalam puisinya
yang berjudul “Gending Semesta” (hlm. 59). Di situ, kita berjumpa dengan sikap
hidup seorang Ni Putu.
Denting dawai getarkan semesta
menyusup ke sapta patala
naga Besuki beringsut di dasar padma
entah terusik, entah menelisik
kabar apa hendak disampaikan sang nada
Tanpa kata ungkap gundah jiwa
guncang bayang di air telaga
kaburkan wajah moreng bertopeng jelaga
Air hujan tercurah diterik surya
tadahlah untuk membasuh gerah sukma
seperti air mata dewa yang tak kuasa melihat
ada laknat di antara kepercayaan tersemat
Yoni kukuh tegakkan lingga
siram dengan susu lembu senantiasa
sang pemralina jalankan murtinya
Pawestri tuntaskan sakti-Nya
Bila kau lupa syair memuja
bertanyalah pada gemerisik daun bambu
mungkin di sana angin menyimpan aksara
pungut satu-satu ronce dalam kata
tapi angan pinjamkan pada lidah yang ambigu
karena ular berkepala dua penghuni goa karang empunya
Luruh pada yang dituju dan bawahlah segenggam garam
dan sepotong arang batang pule
lemparkan ke raksasa mata satu yang hadang langkahmu
itulah kutukan Baruna
Waspada Surpanaka terbangun dari tidur panjang
jangan biarkan taringnya menancap di kedalaman nalar
dan nuranimu
Kau punya nyali, lawanlah!
itu seteru!
Sebuah pesona gaib datang tiba-tiba! Ajaib. Puisi Ni Putu ini menyihir.
Apakah karena taring Surpanaka yang lebih
dikenal Sarpakenaka, adik kandung Rahwana? Seorang rakshasi yang memprovokasi
Rahwana menculik Dewi Sita, istri Rama. Sungguh, puisi ini laksana isyarat
untuk melawan kemunafikan, kebejatan, kejahatan, dan tipu muslihat yang
sebenarnya bersemanyam dalam diri setiap manusia. Itulah penyair, laksana membawa
suara ilahiah!
Ni Putu makin jauh mengarungi perjalanan. Dia masuk ke goa tanpa dasar. Seperti
tersesat untuk mendapatkan apa yang sudah lama dicari dan diyakininya, seolah
ingin berkabar tentang hidup dan kehidupan. Dalam puisi “Jiwa” (hlm. 85), misalnya,
Ni Putu sadar, bahwa perjalanan memasuki dunia puisi yang dipilihnya, tidaklah
sia-sia.
Kata berirama mantra
menelikung punggung cahaya
menyayat luka sedalam duka
di kelam mata tanpa lentera
Jiwa hanyalah remah-remah
dimamah kesumat lalu disepah
hingga setelah napas terakhir
segala sumpah menggelegak di kawah
Ni Putu terus mengabarkan tentang berbagai hal yang sudah dan sedang
dilewatinya: kehidupan cintanya pada keluarga, orang tua, dan kerabat, tak
luput dari pandangannya. Dia mengabarkan kehilangan, namun tak ingin kehilangan
kisah-kisah yang dilaluinya. Dia merasa sendiri, tetapi tak ingin kalah dalam
kesunyian. Dia tak mau kehilangan akal mencari teman atau apa pun. Puisi “Tujuh
Purnama” (hlm. 195), terasa sebagai keengganannya menyerah pada rindu. Dia
ingin terus menyusuri dunia yang diyakini.
Hitungan tujuh purnama
angin tak ramah menyapaku
mungkin dia marah
atau sedang ingin berbelok arah
diterbangkannya daun daun ingatan
yang luruh di sela-sela harapan
Itulah perjalanan puisi Ni Putu Putri Suastini. Saya mengapresiasi
capaiannya dalam menemukan puisi. Memang tak mudah masuk ke ruang sunyi puisi,
dan ketika kita berada di dalamnya, kita seperti tak kuasa keluar dari kekuatan
gaibnya. Ya, kerja menulis puisi memang bukan perkara imaji atau sekadar
klangenan. Puisi yang baik, begitu menurut para penyair sejati, adalah ketika
penyair menyatu dengan objek. Jadi subjek-objek lebur, sebab puisi dapat
mengaum, menangis, marah, rindu, diam, berbisik, berteriak, menggeram, menyalak
dan entah apalagi. Begitulah Ni Putu! Kini dia menjadi sosok penyair yang bisa
berbagi pesan spiritual kepada siapa pun, seperti sosok ibu di mata
anak-anaknya. Selamat berpuisi!
Mobil tumpangan berhenti. Rupanya, saya mesti lebih serius membaca ulang
puisi-puisi Ni Putu ini dan menikmati pesan spiritualnya.
Juli 2018