Penyair kelahiran Riau, Rida K Liamsi mendapat
penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI atas kiprahnya selama
ini sebagai Pegiat Bahasa. Penghargaan tersebut diberi langsung oleh Menteri
Muhadjir Effendy pada acara penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia (KBI)
ke-XI, di Hotel Sahid, Jakarta, Ahad (28/10/2018).
Rida yang
merupakan Pendiri Yayasan Hari Puisi ini mendapat penghargaan tersebut sebagai Pegiat
Bahasa dalam kategori sastra. Kumpulan Puisi fenomenal Rida yang berjudul ROSE dinilai sebagai kumpulan Puisi terbaik
oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud.
“Alhamdulillah, akhirnya kumpulan puisi ROSE diberi penghargaan sebagai kumpulan
puisi terbaik,” tulis Rida dengan rasa syukur di WA Group Yayasan Hari Puisi.
Kumpulan
Puisi ROSE sendiri terbit pada 2013 yang lalu. Berikut beberapa pilihan puisi Rida K
Liamsi dalam Rose:
Hai Rasa Kepingin yang Lelah
Hai rasa kepingin yang lelah
kau telah sampai pada akhir semua cawanmu
kembali pada
gua nasibmu
Istirahatlah
sambil meminumkan sisa anggur lukamu
dan sekatkan
diri dari umbai mimpi siamu
jangan bilang
sia
sia
nangiskan
rasa
di rasa yang
tak nangis
sedihkan
siapa
yang tak
sedih
kau sudah di luar hitungan waktu
disisihkan
dari halaman buku-buku
siapa menyapamu
selain sajak yang kau tulis
atas kening
yang suratkan
rahasia
dalam rahimmu
selain puisi
yang kau tikam
di ulu hati
selain kata pertama yang kau pungut
di rumput
yang kau
takut sebut
Hai rasa kepingin yang lelah
kau sudah masuk dalam perangkap
yang Adam pun
khilaf
Istirahatlah !
Sambil meminumkan sisa anggur lukamu
kau sebut
namamu
yang kau
adalah siapa yang pernah
kau halau
lewat seribu
pintu
yang derau
langkah kau
menghimbau
dari selaksa
jangkau
(1977/2001)
Di Borobudur
Di batu relief aku membaca sebuah
perjalanan
ke keabadian
di tengah keheningan
di bawah keteduhan
di antara kealpaan
di antara huruhara
Tetapi wajah yang arif itu seakan
memberi tahu
perjalanan memang takkan pernah sudah
takkan pernah sampai
dan kita memang tak tahu
di manakah keabadian itu
Di depan stupa, aku menyaksikan kemurkaan
cuaca
yang mengikis jejak sejarah
yang sekerat demi sekerat
meluncur ke kesunyian waktu
Adakah lagi sesuatu
yang terpahat di situ
mengingatkan zaman
tentang kenisbian?
(1977)
Tangan
(Kepada Melayu)
Jangan bilang punya tangan
Kalau cuma bisa tadah
cuma bisa
garuk
cuma bisa
raba
cuma bisa
kocok
Sebab tangan
barulah Tangan
kalau bisa
jadi TANGAN
bisa tangkap
bisa tepis
bisa sepak
bisa tumbuk
bisa tampar
Sebab Tangan barulah Tangan
Kalau tidak jadi t-a-n-g-a-n
Sebab tangan barulah tangan
Kalau malu pada Tuhan
Sebab Tuhan tak tegah
Tangan jadi parang
asal tak
sembarang tetak
jadi pedang
asal tak
sembarang tikam
jadi besi
asal tak
sembarang keras
Sebab Tuhan sudah Phuah!
Sebab Tuhan sudah bilang Nah!
Sebab Tangan adalah Anugerah
Maka jangan sembarang Ah!
(1981/1997/2000)
Di Tebing Lauttawar
Di tebing Lauttawar, kita ternyata bisa
menyaksikan hari bangkit
dengan warna pagi yang berseri, meski
ombak yang berdesir, dan
angin gunung yang layap, seakan tetap
menggugat: Sejarah apa
yang ingin kalian tulis, dengan bedil
dan bau mesiu? Kami telah
mengusir penjajah dengan rencong,
setelah mereka kami biarkan
menanam teh di bukit-bukit kosong.
Di tebing Lauttawar, ternyata hari lewat
dengan lebih hangat
karena uap kopi yang gurih, suara jaring
yang ditebar, dan geliat
ikan yang menggelepar, telah menyisihkan
berita televisi dan
keletah surat kabar. Di puncak Takengon,
gempa masih kerap
menggampar, tapi pucuk-pucuk pinus masih
bisa berkelakar: Di
sini Tuhan memang lebih sabar!
Di tebing Lauttawar, ketika bulan penuh,
dan kabut malam
mengendap, memang masih kerap terdengar
bunyi panser dan
peluru menyambar. Sesekali, di lobby
hotel para tamu disuguhi
kisah Tengku Bantaqiyah di Beutong
Bawah. Tapi di gelap
malam, para hansip masih ronda dengan
pentung dan rencong di
pinggang. Dan di bibir pekebun teh dan
pelancong Eropa, malammalam
menjadi lebih berona. “Di sini,
kemerdekaan milik semua,
dan bedil di simpan di bawah jendela”
Di tebing Lauttawar, warung nasi, tetap
menggulai rending. “Rasa
Aceh, resep Padang” dan sambil menonton
liga Italia, si Buyung
melenggang: Ma baju Ronaldo tu?
Di tebing Lauttawar, di bawah
bayang-bayang potret Cut Nyak
Dien dan Teuku Umar, sebelum kabut
menghilang, kita masih
bisa berkelakar : Di sini kerasnya
rencong memang masih bisa
ditawar
(2005)
Di Masjid Amir Hamzah
Sehabis
magrib
Aku ratib dan
meletakkan setangkai bunga di nisannya
Tuhan,
singkirkan rasa benci dan aniaya
Tak ada daya,
tak ada daya, tanpa kehendak-Mu
Dan maut
menjemput, pun saat jiwa bersujud
Dan maut
wangi bagai setanggi dibakar lumut
(2005)
Kedidi Kini Sendiri Pergi Mencari
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Mencari
Mencari jalan pulang
Mencari jejak datang
Mencari tanda musim
Mencari arah angin
: Rasanya
dari sini aku datang
Tapi pantai
semakin landau
Rasanya ke
sini aku pergi
Tapi desir
ombak semakin derai
Rasanya di
sini berahiku hanyut
Gairahku
luput
Tapi hari hanya menyisakan lupa
menyisakan alpa
menyisakan
luka
Ke mana suka
Ke mana
dahaga
Ke mana sukma
Rasanya di sini aku menawar waktu
memaku mauku
memeta
jalanku
menyendu
mimpiku
Tapi jam sedingin batu
Hati sepedih
sembilu
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Mencari
Mencari sisa-sisa musim
Mencari sisa-sia mimpi
Mencari sisa-sisa berahi
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Menyusur pantai, menyisir ombak, mencari
jalan pulang
Akan sampai?
Sampai lepai
Sampai sansai
Sampai pada
wahai?
Kedidi
Kini sendiri
Pergi
Mencari
Mencari!
(2007/2008)
Jejak Hujan
Rasa rinduku padamu
adalah jejak
hujan
yang aku tak
tahu di mana luruhnya dan ke
mana akan
bermuara
dan aku hanya
ingin mencatat
di sisa-sisa
kelelahan musim
aku memandang
sebuah keteduhan di terang matamu
dan aku
terdampar di samuderanya
(2010)
Rose (I)
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah kuda
di padang terbuka
tak henti lari
tak siang tak malam
tak panas tak hujan
tak perih tak luka
tak satu tak dua
tak
tak
tak
tak nyerah
tak kalah
tak menyimpan pedang
tak gantung kapak
tak kemas tali
tak kubur mimpi
tak sebelum rinduku
tenggelam
dalam kalbu
tidur dalam
nadimu
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah kembara
di padang terbuka
lupa batas
luruh waktu
tak pagi
tak petang
tak manis
tak pahit
tak
tak
tak
tak haus
tak lapar
tak kira
beribu lie
beribu sungai
beribu jam
beribu hari
beriburibu
mimpi
harap dan
dendam
t e r p e n d
a m
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah panah
yang melesat melintas cakrawala
tak putus asa
memburu
demi detik
demi napas
demi lelap
demi sirap
denyut nadiku
menunggu
menerkam
tiap langkah
tiap jangkau
tiap cekam
tiap jemari
tuliskan
cinta
tikamkan
sembilu
rinduku
Rasa rinduku padamu ROSE
adalah pahit
di padang anggur
bagai cuka
bagai racun
bagai maut
kutabung
tiap tetes
tiap hirup
tiap hela
nafas
ketika mulutku katup
menyebut rinduku
membunuh cintaku
padamu
(1977/2000)
Secangkir Teh, Sejentik Tari
Secangkir
sake, sejentik tari, Kiyoko san
Angin sungai,
dan suara gendang, menerobos bedakmu
Aku menghirup
rupa, menghirup wangi, menghirup tradisi
Menangkap
makna di balik kelebat payung jinggamu
Mencari
suara-suara abadi di balik kimonomu
Kau kah itu
kiyoto san
di balik
gemuruh
Play Station
dan
keletah
Sincan
Ketika aku
mabuk dan kikikmu
tertahan
(1999)
Selain Rida,
Penyair Hasan Aspahani yang juga aktif sebagai pengurus Yayasan Hari Puisi pun turut
mendapat penghargaan atas esai sastra-nya dalam kategori yang sama. Penghargaan
juga diberikan kepada Eka Kurniawan (kumpulan cerpen); Martin Suryajaya
(novel); Ziggy Zezsyazeoviennazabriezkie (novel), dan Akhudiat (naskah drama).
“Saya mengucapkan selamat kepada penerima penghargaan.
Semoga dapat memberikan motivasi lebih dalam mendukung penggunaan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar, khususnya di ruang publik,” tutur Mendikbud Muhadjir
sebagaimana dilansir dari laman resmi www.kemdikbud.go.id.
Selain itu, penghargaan dalam kategori Tokoh
Kebahasaan dan Kesastraan juga diberikan kepada Arif Sulistiono (tokoh
kepemudaan); I Komang Warsa (tokoh pendidik/tenaga kependidikan); Nursida Syam
(pegiat literasi), dan; Felicia N. Utorodewo (pegiat diplomasi kebahasaan di
kawasan ASEAN). Adapun untuk kategori Duta Bahasa Tingkat Nasional 2018
diberikan kepada Agatha Lydia Natania dan Nursidik (Terbaik I); Hilma Ramadina
dan Faisal Meinaldy (Terbaik II), dan; Ainna Khairunnisa dan Almuarrif (Terbaik
III).
Sementara itu, penghargaan Adibahasa diberikan kepada
tiga provinsi di antaranya, Provinsi Jawa Tengah sebagai penerima penghargaan
kategori provinsi besar; Provinsi Jambi menerima penghargaan pada kategori
provinsi sedang, dan; Provinsi Sulawesi Barat penerima penghargaan pada
kategori provinsi kecil. [Arief D Hsb]