oleh H. B. Jassin
SIFAT 20 menyebutkan bahwa Tuhan Melihat. –Apakah Ia punya Mata? Tuhan Mendengar. –Apakah Ia punya Mulut? Punya Lidah? –Kalau Tuhan bisa murka sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran, mengapa Ia tidak bisa Tersenyum atau Tertawa?
Jakarta, 11 November 1968
SIFAT 20 menyebutkan bahwa Tuhan Melihat. –Apakah Ia punya Mata? Tuhan Mendengar. –Apakah Ia punya Mulut? Punya Lidah? –Kalau Tuhan bisa murka sebagaimana dikatakan dalam Al-Quran, mengapa Ia tidak bisa Tersenyum atau Tertawa?
Tidak! Tidak semua itu!! Apa pun pertanyaan kita dan apa
pun jawaban kita, senantiasa Ia lebih dari mempunyai sifat dan keadaan yang
bisa kita gambarkan. Ia adalah Mukhalafat
lil hawadith, beda dari segala yang baru.
Tuhan terlalu Besar untuk bisa dimengerti. Kita hanya
dapat menggambarkan-Nya dengan kemampuan kita masing-masing dan kita tahu bahwa gambar
itu bukan Tuhan. Tetapi sebagai manusia pencari, kita mau menggambarkan-Nya juga, seperti kata
Amir Hamzah:
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Maka apabila seorang pengarang atau seorang pelukis
menggambarakan Tuhan dengan kata-kata, dengan lukisan, ataupun dengan patung,
dia tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan. Demikian pula orang
lain, umat yang melihat, mereka tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi ide
Ketuhanan.
“Untuk melihat pekerjaan Tuhan, lihatlah pekerjaan diri
sendiri,” kata penyair Rumi.[1] Tentulah bukan maksud Rumi hendak menghina Tuhan dengan ucapan ini.
Larangan untuk “mempersonifikasikan” Tuhan, sekalipun
hanya dalam imajinasi, sama dengan meniadakan Tuhan dalam hati sanubari kita.
Jangankan Kenyataan Tuhan, kenyataan manusia saja pun
tidak dapat dicakup oleh manusia. Tatkala seorang pengarang membuat sebuah
novel tentang diri saya, [2] saya tidak merasa bahwa pengarang itu telah berhasil melukiskan
seluruh eksistensi diri saya dan meskipun ada sudut-sudut negatif yang
disorotinya, saya tidak merasa terkena, karena pandangan itu adalah pandangan
dari sudut si pengarang belaka. Saya merasa lebih tahu dan dapat
mempertanggungjawabkan apa yang dianggap sebagai kesalahan saya dari sudut yang
baik. Dan saya tidak perlu marah, karena bagaimana pun juga, suatu hasil karya
adalah hasil imajinasi artistik yang tidak identik sama dengan kenyataan objektif.
Dengan demikian saya pun tidak berpendapat bahwa Tuhan
menjadi murka, karena manusia masing-masing mempunyai tanggapan yang terbatas
mengenai Zat-Nya yang tidak tersebut dan tidak terbayangkan secara lengkap
apalagi sempurna. Zat-Nya yang entah berapa dimensional hanya kita tanggapi
dengan pikiran kita sebagai manusia yang tiga dimensional.
Orang
menguatirkan apabila tuhan digambarkan dengan sifat-sifat manusia, mungkin
orang akan terlalu meremehkan-Nya.
Misalnya Ia digambarkan pilek (selesma), sakit keras atau mungkin juga mati.
–Zat yang Maha Tinggi tak mungkin mati dan Ia tidak mati meskipun orang seribu
kali mengatakan Ia telah mati. Mati hanyalah pengertian dalam benak si
pengarang, atau dalam arti yang lain sebagaimana matinya-Nietzsche ialah Ide Ketuhanan
dalam hati manusia yang memperalat Tuhan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Beberapa
tahun yang lalu saya bercakap-cakap dengan seorang pelukis yang mengatakan
bahwa ia merasa tertekan jiwanya karena tidak leluasa dapat mengekspresikan
dirinya dengan lukisan akibat larangan dalam agama. Ia pun ingin mengembangkan
bakatnya dalam seni pahat, tapi senantiasa ia terbentur pada orang-orang yang
melarang pemahaman bentuk benda yang bernyawa, baik manusia maupun binatang.
Saya kira
seniman-seniman Barat dalam hal ini mempunyai kebebasan yang lebih besar dan
sejarah nabi-nabi menjadi sumber yang tak kering-keringnya bagi imajinasi
seniman-seniman Barat yang kaya. Mereka menggambarkan kelebihan Nabi Isa,
peristiwa-peristiwa dalam perjalanan hidupnya menyebarkan cinta kasih
sampai-sampai kepada kematiannya yang penuh pengorbanan dan penderitaan. Mereka
dalam imajinasinya menghayati kembali perjalanan hidup nabinya dan orang yang
melihat karya-karya mereka pun dapat merasakan kembali suasana pengabdian yang
tulus dan ikhlas itu. Dengan demikian agama dan Ketuhanan bukan sesuatu yang
berada di luar diri, tetapi dihayati dengan badan dan jiwa.
Malahan
Tuhan digambarkan sebagai orang tua yang turun dari awan-gemawan membawa
seorang bayi yang akan dititiskannya ke dalam rahim gadis bernama Maria yang
sedang lelap tidur di bumi. Si pelukis pastilah tahu bahwa yang digambarkannya
itu bukanlah Jeus yang pernah hidup dan bukan pula Tuhan yang lain dari segala
yang lain, tapi ide abstrak yang diaktualisasikan supaya dimengerti oleh
manusia.
Dalam
tahun 1948 timbul heboh karena sebuah sandiwara radio Bahrum Rangkuti –sekarang
Kepala Pusroh Angkatan Laut Republik Indonesia-berjudul Sinar Memancar dari Jabal An-Nur di mana ditampilkan adegan Nabi
Muhammad menerima wahyu yang pertama di Gua Hira melalui mikrofon. Rapat
raksasa diadakan di mana-mana sebagai protes, karena peristiwa itu dianggap
sebagai penghinaan terhadap agama dan Rasulullah. Tapi tatkala drama itu juga
dimuat dalam majalah,[3]
tidak ada reaksi apa-apa
Disayangkan bahwa dalam polemik yang terjadi tidak
dikemukakan alasan-alasan ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran dan hadis, pun
tidak dicoba dimengerti persoalan dari sudut perkembangan teknik modern dan
ilmu jiwa masyarakat yang dinamis.
Pengarang
Di Bawah Lindungan Ka’bah pun pernah
diserang karena ia sebagai ulama mengarang roman-roman yang bertemakan
percintaan. Padahal melalui roman pun pengarang dapat menjalinkan pikiran yang
tinggi-tinggi dan mulia-mulia dan dengan demikian mengisi jiwa manusia.
Kita
telah menikmati film-film dari Barat menceritakan perjalanan hidup Nabi-nabi
seperti Quo Vadis, King of Kings, The Ten
Commandments, Buddha. Dalam Quo Vadis
diperlihatkan bagaimana Nabi Isa as. Menyebarkan ajarannya dengan berbagai
penderitaan. Dalam The Ten Commandments
bagaimana Nabi Musa as. menerima wahyu yang pertama dari Tuhan dan mukjizat
Tuhan membelah Laut Merah jadi dua untuk memberi jalan kepada pelarian kaum
Yahudi menyelamatkan diri dari kejaran tentara Fir’aun.
Dan
kita bertanya kapankah para sineas Indonesia memfilmkan pula peristiwa-peristiwa
bersejarah dalam Al-Quran dan sejarah gemilang kerajaan-kerajaan Islam dalam
masa jayanya?
Kebebasan
mencipta adalah soal yang penting dipikirkan dan disadari oleh para seniman,
terutama seniman muda yang hendak
mengabdikan seninya sebagai dakwah agama. Dan ini perlu dibicarakan dalam
tingkat yang lebih tinggi dan iklim yang jernih, lepas dari emosi yang
berkobar-kobar dan meluap-luap.
Socrates
telah dipaksa minum racun karena ia dianggap berbahaya mengajarkan cara
berpikir yang logis dialektis kepada para pemuda dalam mencari kebenaran. Ia
dihukum oleh orang-orang yang takut akan kebenaran. Tapi kebenaran tidak turut
binasa bersamanya.
[1] Menurut Oemar Amin
Hoesin, Gelanggang Sastra, Jakarta,
Penerbitan Pustaka Islam (1953), muka 48.
[2] Idrus, Perempuan
dan Kebangsaan, majalah Indonesia,
tahun I No.4, Mei 1949
[3] Indonesia,
Tahun I No. 6, Juli 1949