Jamaluddin Muhammad ibn Abdu
ar Razaq Isfahani, salah satu penyair
besar abad 12 M. Dia juga ayah dari penyair Kamaluddin Isma’il Isfahani. Tahun
kelahirannya tidak diketahui akan tetapi Ia wafat pada tahun 588 H (1192 M). Isfahani
lebih banyak menghabiskan hidupnya di tanah kelahirannya Isfahan. Karya-karyanya dalam
bentuk qasidah banyak mengikuti style dari penyair sufi seperti
Sanayi dan Anwari. Selain itu dia juga menghasilkan puisi dengan genre seperti Gazal,
Qasidah, Ruba’i dan Qit’eh.. Berikut salah satu puisinya dalam bentuk tarkib
band tentang sanjungan kepada Nabi sangatlah terkenal:
________________________________________
Sumpah Demi Wajah Bulan Mu
Hai! Dari sidrah [1]
jalan besarmu
Hai! Qubah ‘Arsyi tempat
sandaranmu
Hai! di balkon tinggi langit
ke sembilan
Tapi maqom mu
lebih tinggi darinya
Hai! Akal yang selalu
bersamamu
Hai! Agama kau jadikan
tempat lindungmu
Hai awan biru bak pedang
terhunus
Tampak di leher tua
renta
Jibril menjadikan
rumahmu tempat tinggal
Lapisan langit adalah
rumah singgahmu
Planet walau tinggi, tempat
kau injak
Nafsu walau besar, bayi
yang bebas
Hai! Dengan jiwarmu
tuhan bersumpah
Sumpah demi wajah bulan
mu
Tuhan menciptakan akal
untuk menjaga jiwa
Namamu selalu sejajar
dengan nama-Nya
Wahai yang namamu
terciptalah Adam
Penciptaanmu pondasi
terciptanya dunia[2]
Gerbangmu terbuka luas
bagi Kalim ibn I’mran[3]
Jalanmu memandu Isa ibn
Maryam
Dari nama Muhammad mu,
ada huruf mim
Yang melengkung
melingkari langit tinggi
Kau dari ketiadaan
sampai medapat kekuatan
Seluruh dunia ada di
bawah petunjukmu
Dalam perjuanganmu
nabi-nabi mulia
Dalam kesucianmu manusia
terhormat
Tak ada siapapun dalam Khalwat
mu
Tidak ada ‘Arsyi, tak
ada Jibril
Tak bisa berpaling
karena
Sebelum kau, langit dan
bumi tak sempat bertemu
Dua alam setitik dari
wujudmu
Seluruh planet bagian
kecil dari penciptaanmu
Dari dapurmu, timbul
asap awan
Dari gerakmu bumi butiran
debu
Kau ungkap rumus dan
rahasia ghaib
Akal dicipta untuk kau
ajak berfikir
Ampunan dari dosa dan
khilaf
Wujudmu, dari
pertanyaan, rasa malu
Terdiam dari wangi
safa’atmu
hingga iblispun berharap
Iya apa yang terjadi,
jika kau menjadi
Apakah kelembutan mu kan
menganyam debu?
Tak berharap adalah
kebodohon
Dalam masa karena kau
pembesar
Di sana yang
merendahkanmu
Tujuh, enam, lima dan
empat tak berarti
Hai! yang para takdir
berharap bertemu denganmu
Hai! Rumah mu kiblatnya
langit
Di alam retorika, tak
ada orator
Belum cukup pujian yang
terucap
Guru yang ada di setiap
tempat adalah budakmu
Paras indah yang ada di
setiap sudut, mengemis padamu
Semua cahaya bintang
pantulan wajahmu
Setiap sudut langit
meneduhimu
Para pecinta yang
bernyawa, merindukan sabdamu
Mengunci kesesatan
adalah do’a mu bagi kami
(Diterjemahkan oleh Bastian Zulyeno, Ph.D.)
[1] Nama sebuah pohon di langit ke tujuh. “Sidratul Muntaha” akhir dari
segala amal manusia dan persinggahan
terakhir Jibril ketika mendapingi nabi Muhammad dalam perjalanan Isra
Miraj.
[2] Dari Hadis Qudsi disebutkan: kalau bukan karena kau (Muhammad) tak
kuciptakan dunia ini.
[3] Anak dari Imran, Kalim ibn Imran. Saudara Musa ibn Imran