oleh Asrul
Sani
Tapi
bagaimanapun harga Chairil dalam kesusastraan ialah harga dari sajak-sajaknya
sendiri. Tidak usah ikut beramai-ramai ke kuburan Raden Saleh untuk memastikan
bahwa ia seorang pencipta bangsanya dan mengganti “Ridder dan sebagainya”
dengan “nasionalis”. Barangkali ia memang nasionalis dan ia cinta kepada
bangsanya. Dalam zaman ini sudah menurut cara-cara kini namanya itu, jika ia
disebut pahlawan karena kita perlu pahlawan. Mau tidak mau ia harus jadi
pahlawan karena ia sudah mati. Tapi ia pelukis. Atas nama ini ia masuk dalam
sejarah. Oleh sebab itu, maka ia baru jadi orang besar jika telah nyata
tempatnnya dalam seni lukis kita.
MENULIS
tentang kesusastraan, ialah
menulis perihal derita, kegembiraan, kepahitan, dan kemanisan yang telah
dialami, pengalaman yang telah jadi kesadaran dan kemudian beroleh bentuk dalam
kata yang membentuk kalimat dan kalimat yang menjadikan karangan. Tiada yang
dapat mengingkari bahwa kesusastraan
dan kata adalah kulit dan manusia. Kita tiada akan dapat menulis tentang kesusastraan jika pengarang-pengarang
menyelesaikan deritanya dengan sebuah keluh atau ia berurai air mata ataupun
mengepalkan tinju.Karena bagaimana murni pun perasaan yang menjadi sumber air
mata itu, ia tak akan lebih dari air mata biasa: belum kesusastraan. Setiap puisi terdiri dari kata,
kata yang liar dan kasar, kemudian dijinakkan oleh penyair dan dipatuhkannya
kepada kehendaknya.
Dan
air mata penyair? Itu adalah urusannya sendiri. Jika baru tinggal pada air
mata, publik tiada hak mencampurinya, karena ia hanya sekadar menjalankan kehidupan pribadinya. Air
mata itu baru penting jika ia telah jadi puisi atau prosa. Pengarang baru jadi
penting kalau ia mengarang. Jika pekerjaan ini tidak ia lakukan, maka tidaklah
ia mencampuri kehidupan orang lain dan karena itu, tidak akan kita campuri.
Mungkin sekali seorang pengarang adalah manusia yang termasyhur. Tetapi jika
selidiki apa sebetulnya arti kemasyhuran seseorang, maka akan nyatalah bahwa ia
tidak lebih dari suatu pendapat umum atau suatu kepatuhan umum yang tidak
diucapkan terhadap suatu pendapat, suatu zaman, suatu mode. Ada kata lain yang
dekat sekali dengan kata ini, tapi sering orang kacaukan dengannya. Kata itu
ialah “penghargaan”, dan kata ini lebih lagi bisa dipercayai karena penghargaan
terhadap seorang sastrawan adalah soal orang-seorang, dan darinya tak dapat
diceraikan sebentar juga hasil pekerjaan pengarang itu, tulisan-tulisannya.
Jika
orang menulis perihal kesusastraan,
maka orang dapat menulis untuk dua golongan: untuk pengarang, dan untuk orang
banyak. Untuk pengarang, karena ia dengan menulis telah mencampuri kehidupan
kita. Dan karena itu, kita mau menyatakan kepadanya apakah ia dalam
perbuatannya itu telah berlaku sewajarnya. Apakah ia jujur, apakah betul dasar
kenyataan yang ia kemukakan dan sebagainya. Kita menentangnya atau
menyertainya, karena ia menulis. Yang
ditentang dan disertai ialah tulisannya.
Kita
menulis untuk orang banyak karena kita mengakui bahwa orang banyak itu penting.
Publik ini juga penting bagi seniman yang
beranggapan bahwa tujuannya ialah hasil
pekerjaannya itu sendiri, atau seniman yang beranggapan seni untuk seni.
Sebab sebuah karangan belum
lagi mencapai tujuannya jika ia baru berbentuk buku dan belum dibaca. Seperti juga sebuah lukisan
belum lagi mencapai tujuannya, jika ia baru berbentuk benda dan belum lagi
dilihat. Karena setiap hasil seni mengandung “beban”, dan “beban” ini
dikandungkan untuk dikeluarkan kembali.
Jika dilihat dari sudut ini, maka benarlah bahwa dengan perjuangan yang telah
ia lakukan dan ketinggian tingkat kejiwaannya. Watak Awal atau dokter dalam
buku Belenggu, atau Raskolnikov atau
Josef K. tidak akan beroleh bentuk dan hidup jika pembaca tak dapat
mengeluarkannya dari perumusannya.
Pengeluaran
isi hasil seni adalah rahmat karena di dalamnya terkandung keterharuan dan
kenikmatan. Ia adalah “nafkah” kita waktu membaca buku. Kritik kesusastraan
dalam hal ini membenarkan hak hidupnya sebab ia tidak saja menyatakan dan menyebarkan
kesusastraan yang telah dibuat itu, tapi lebih-lebih karena ia adalah semacam
pasukan-pasukan yang termaju ke depan yang akan membebaskan daerah-daerah baru
bagi kita dan dengan demikian mempertinggi nafkah kita waktu membaca hasil
kesusastraan. Majalah-majalah kesusastraan baru dapat menghalalkan kehidupannya
jika ia mempunyai kecondongan-kecondongan seperti yang dilakukan oleh
pasukan-pasukan terkemuka ini. Ia membantu orang banyak membentuk kesusateraan.
Tetapi,
baik kita menulis bagi golongan pertama, baik bagi golongan kedua, selamanya
yang menjadi pokok pangkal ialah yang telah dituliskan. Jadi, kita senantiasa
berada di belakang pengarang, karena tiada mungkin dan tiada ada gunanya kita
mendahului pengarang dalam membicarakan kesusastraan. Saya mengikatkan
segalanya pada kata, kepada yang dituliskan, malahan samapi saat ini ia saya
pentingkan benar. Sebabnya ialah karena dalam kritik kesusastraan kita ada yang
terbalik. Seperti juga dalam kehidupan politik, di mana tokoh lebih penting
daripada pekerjaan, demikian juga kritik kesusastraan kita (sekiranya itu ada)
lebih berpusat kepada pengarang dan tidak kepada karangan. Kalau orang mau membahas kesusateraan, maka yang orang pertengkarkan
ialah pengarang dan sering bukan apa yang telah ia karang.
Jika
seseorang menyerang pengarang lain, maka umumnya karangannya tidak lebih dari
kekenesan dirinya sendiri. Barangkali ia tidak begitu lembut seperti biasa kita
temui pada perempuan-perempuan pesolek. Ia mungkin sangat lantang dan keras.
Tentu. Karena ia seorang yang “kesusahan” , karena ia sedang diterorisir
kekenesannya sendiri. Tiada akal yang lebih baik untuk memuaskan keinginan
bersolek ini daripada menyerang orang lain dan mencoba menjaga dalam
perkelahian ini supaya pakaian sendiri jangan kotor. Orang ini mencoba
menyelamatkan diri di balik kelancaran tulisan dan dengan itu mengelakkan
permintaan orang kepada alasan. Pertengkaran ini adalah pertengkaran burung
merak. Merak yang memakai bulu burung lain karena untuk menyatakan kecantikan
dirinya sendiri ia perlu perbandingan. Untuk menyelamatkan diri sendiri
diangan-angankannya sifat
yang diserangnya, sifat-sifat yang dalam pembicaraannya tidak ia beri alasan.
Hanya
dari sudut ini dapat saya lihat tulisan-tulisan Sitor Situmorang yang ia
siarkan dalam Mimbar Indonesia
(pelbagai surat) dan “Gelanggang” (pelbagai catatan), hanya dari sudut ini
dapat saya lihat ucapannya yang mengatakan bahwa Jassin telah berlaku sebagai
anak stambul dalam tulisannya “Selamat tinggal tahun 1952”. Hanya dari sudut
ini dapat saya lihat ucapan
Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan bahwa para pembicara simposium di
Amsterdam adalah pembicara-pembicara salon, hanya dari sini dapat saya lihat
jika Jassin pada suatu saat dalam suratnya kepada saya yang kemudian ia siarkan
dalam Zenith nomor dua tahun ini
bahwa Rivai Apin adalah pengekor Camus. Segala
yang mereka katakan itu tiada mereka beri alasan sama sekali, dan jika kita
minta kepada mereka untuk mensitir bagian-bagian karangan pengarang-pengarang
yang diserang, yang menyebabkan mereka beroleh pendapat seperti yang mereka
tuliskan, maka saya kira tiadalah mereka akan dapat mengadakan. Jassin tidak
dapat menyatakan karangan mana dari Rivai Apin yang dapat menunjukkan bahwa ia
dalam tahun 1953 tidak akan bisa hidup jika tidak ada Camus. Apakah Saudara
Situmorang dapat menunjukkan dalam tulisan-tulisan Asrul Sani, bahwa jika ia
berbicara tentang keisengan adalah ia membicarakan keisengan dilihat dari sudut
memiliki kulkas? Tiada seorang pun yang akan keberatan jika hal itu dituliskan
dalam surat pribadi kepada seorang kawan. Di sana berlaku hukum-hukum lain. Tetapi
jika surat ini disiarkan, maka sifatnya berubah sudah. (Demikan juga halnya
dengan surat saya kepada Jassin yang ia siarkan dalam Zenith dengan tak ada persetujuan saya sendiri.
Karangan
ini tidak saya maksud untuk menyambut berbagai hal yang dikemukakan oleh
Saudara-Saudara Situmorang
atau Ananta Tour atau siapa pun. Saya sebut nama mereka sebagai contoh dari
keadaan yang ada dalam kehidupan kesusastraan kita sekarang ini. Permainan kekenesan dengan tak ada alasan
ini telah begitu jauh, sehingga tak memperjernih pandangan kita terhadap
kesusastraan. Orang barangkali akan mengatakan bahwa ini adalah suatu praktik
dari vorm en vent (generasi Mennoster
Braak di negeri Belanda) yang diperjauh. Tapi biarpun begitu, hal ini cuma bisa
berlaku jika pengarang menulis. Ia didasarkan pada tulisan, tulisan yang
menjadi hak milik orang banyak. Jika Dirk Coster tidak menulis, maka du Perron
juga tidak akan bicara tentang dia. Kita
bicara tentang Chairil Anwar sebab ia menulis sajak. Dalam hubungan
sajak-sajaknyalah akan kita cari di mana tempatnya dalam kesusastraan
Indonesia, tidak dalam hubungan kehidupannya di Karawang atau Cikampek.
Tentu pengetahuan tentang kehidupan yang ia jalankan akan memperjelas beberapa
sajak-sajaknya bagi kita. Tapi tidaklah ia berubah tempat karena ia pernah
tinggal di sana. Orang selalu mensenyawakan sajak-sajak Chairil dengan seorang
revolusioner. Mungkin ia dalam kehidupannya, dalam perjuangannya, tapi dalam
sajak-sajaknya ia adalah suatu contoh dari “konsekuensi kebebasan”, konsekuensi
yang harus dijalankan setiap orang yang mulai sadar akan harga dirinya, kesadaran
yang membawa sertakan kesunyian. Kesunyian yang disebabkan bebasnya ia dari dan belum bebasnya
ia untuk.
Dalam
kesusastraan, orang harus diberi tempat atau dibuang sama sekali karena
kegiatan-kegiatan kesusastraannya. Untuk ini kita harus mengemukakan alasan.
Baik hal ini kita teliti kembali. Angkatan muda kesusastraan telah menyerang
angkatan sebelumnya dengan sejadi-jadinya. Ia masih muda dan karena itu,
pengetahuannya tidak cukup banyak. Tetapi ia tahu apa yang ia mau dan apa yang tidak ia suka. Yang ia tidak
suka ini, ia kumpulkan dalam beberapa garis besar, dalam beberapa generalisasi,
dan sesudah itu ia hanya memusatkan pikirannya kepada apa yang ia maui lagi.
Senjatanya bukan alasan, tapi kegiatan. Akhir-akhirnya kesusastraan Indonesia
sekarang ini terbiasa dalam kegigihannya ini.
Sekarang juga masih gigih, tapi
makin lama makin nyata bahwa dengan kegigihan ini saja ia belum lagi dapat
melepaskan senjata seterus-terusnya. Orang tidak bisa dianggap angin, mereka
punya tempat berdiri di bumi Tuhan ini. Bukan itu saja. Jika tiada lagi yang
berani mengingkari kita, maka lucu sekali jika kita masih tinggal gigih. Kita akan kehabisan energi karena mengasyiki
diri sendiri. Kita harus gigih dengan alasan-alasan yang lahir dari kenyataan-kenyataan, Pengeritik harus
bekerja dengan kenyataan (tulisan atau ucapan yang diperuntukkan bagi umum)
dan alasan. Kalau tidak, “percakapan” yang akan berlangsung adalah seperti
percakapan berikut ini:
“Saya
tahu siapa pengarang terbesar di negeri ini. Si Anu itu tidak penting sama
sekali,”
“Siapa
pengarang terbesar itu? Mengapa?”
“Ah!
Saya segan berbicara tentang diri saya sendiri.”
Bahwa
seniman seorang pesolek adalah soal yang biasa. Sungguhpun begitu tidaklah
dapat dibiarkan jika ia menyinggung hak bersolek orang lain dan tidaklah ia
menjalankan kesusastraan lagi jika ia mencoba memasukkan keinginannya untuk
bersolek itu dalam hubungan-hubungan sosial. Ini cuma bisa terjadi jika
pengarang lebih menghargakan kedudukan lain daripada mempergunakan mediumnya
sendiri, jika pengarang lebih menyukai untuk menjabat kedudukan penting
daripada melakukan pekerjaannya:mengarang.
Siasat, 4 Oktober 1953