Belakangan ini, masyarakat kita, bahkan juga
pemerintah, riuh mengangkat wacana toleransi, kebinekaan, dan anti-ujaran
kebencian. Tujuannya, tentu saja agar bangsa Indonesia yang multi-etnik dengan
berbagai kekayaan budayanya itu, tetap kokoh berada dalam NKRI. Benarkah
perkara itu penting kita kibarkan dalam berbagai wacana sosial-budaya atau
sekadar isu seksi kepentingan politik sesaat? Seminar Nasional bertajuk: “Syair
Kampung Gelam Terbakar: Representasi Toleransi Masyarakat Melayu” diharapkan
dapat memantik kesadaran kesejarahan dan sekaligus mengembalikan ingatan
kolektif kita, bahwa sudah sejak lama penduduk di kawasan Nusantara, punya
semangat yang sama dalam urusan menjaga toleransi, merayakan kebinekaan, dan
menolak ujaran kebencian.
Produk budaya
yang merepresentasikan semangat itu dapat kita jumpai dalam berbagai karya
sastra, khususnya puisi. Dalam “Syair Kampung Gelam Terbakar” karya Abdullah
bin Abdul Kadir Munsyi yang ditulis tahun 1847, tampak jelas, bahwa persoalan gotong
royong, toleransi, menghormati perbedaan, dan menolak kosakata kasar yang
menyulut kebencian, sudah menjadi sikap budaya dalam kehidupan masyarakat di
Nusantara sejak dahulu kala.
Seminar itu
sendiri diselenggarakan dalam rangka syukuran menyambut Hari Puisi Indonesia,
26 Juli dan persiapan perayaan ke-6 Hari Puisi Indonesia, 17-19 Oktober 2018.
Adapun penyelenggaraannya adalah DRPM Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Yayasan Hari Puisi dan Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta. Seminar
yang bertempat di PDS H.B. Jassin, Kamis, 26 Juli 2018, Pukul 14.00—17.00, akan
menampilkan para pembicara: (1) Maman S. Mahayana (kritikus sastra), (2)
Bastian Zulyeno, Ph.D. (ahli Parsi), (3) Dr. Ade Solihat (antropolog), dan (4)
Suranta, M.Hum. (Islamolog), dengan moderator penyair, Sofyan RH. Zaid.
Seminar ini
terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya.