Oleh
Maman
S Mahayana
Kepenyairan Irawan Sandhya Wiraatmaja, konon, dimulai
ketika ia masih duduk di SMA (1976). Setidak-tidaknya, keterangan itu dapat kita
baca di halaman belakang buku antologi puisinya, Air Mata Topeng (Jakarta: Kosa Kata Kita, 2017, xi + 124 halaman).
Tetapi E.U. Krazt[1] mencatatnya
sejak puisi yang berjudul “Sajak Seekor Semut” dimuat majalah sastra Horison, No. 12, Th. 12, 1977. Selepas
itu, sejumlah puisi Irawan dimuat di majalah Zaman, Basis, Pandji Masjarakat, dan sejumlah koran
ibu kota, seperti Kompas, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia,
dan beberapa surat kabar yang sudah almarhum.
Untuk
mencermati perjalanan kepenyairan seseorang, pelacakan dan pengumpulan
puisi-puisi yang tersebar di berbagai media massa, sesungguhnya penting
dilakukan.[2]
Penyisiran bahan-bahan seperti itu, bagi peneliti bukanlah perkara sulit, meski
perlu waktu dan kesabaran. Jadi, patut dipertimbangkan pengumpulan kembali
puisi-puisi yang tersebar di media massa itu dan menerbitkannya secara lengkap.[3]
Dengan demikian, kita dapat melihat jejak kepenyairannya dan perkembangannya
kemudian.
Informasi
itu sekadar hendak menegaskan, bahwa Irawan Sandhya Wiraatmaja, bukan nama yang
tiba-tiba datang. Pamusuk Eneste (1990, 2001), Korrie Layun Rampan (2000), dan
Ahmadun Y. Herfanda, dkk (2003) memasukkan namanya leksikon sastra mereka.
Bahkan, Korrie Layun Rampan, meski tidak jelas argumen yang mendasarinya,
memasukkan nama Irawan Sandhya Wiraatmaja sebagai sastrawan Angkatan 2000. Kita
juga dapat menjumpai puisi-puisinya dalam sejumlah buku antologi bersama, seperti
Forum Penyair Muda Jakarta, Puisi Indonesia (1997), Angkatan 2000 (2000), dan seterusnya.
Sejauh
pengamatan, Irawan sudah menghasilkan empat antologi puisi tunggal, yaitu Anggur, Apel, dan Pisau Itu (2016), Dan Kota-Kota Pun (2016), Giang, Menulis Sungi Kata-kata menjadi Batu
(2017)—pemenang utama anugerah Hari Puisi Indonesia (2017), dan Air Mata Topeng (2017), antologi puisi
terbarunya yang akan kita bincangkan.
***
Catatan
yang dilakukan Krazt menegaskan, bahwa kiprah Irawan dalam kepenyairan kita
seangkatan dengan Korrie Layun Rampan, Fakhrunnas MA Jabbar, kakak-beradik M
Massardi, Gus tf, Kurniawan Junaedhie, Mira Sato (Seno Gumira Ajidarma), Sutan
Iwan Soekri Munaf, Heryus Saputro, dan deretan nama lain generasi 1980-an.
Tetapi, tampaknya Irawan memilih “dekat di mata, jauh dari kehebohan”, duduk di
belakang meja sambil kapan-kapan (mungkin) tampil di depan publik, jika
diundang. Di sinilah pentingnya peranan orang-orang ‘gila’ macam Korrie,
Kurniawan, Adri Darmaji Woko, dan entah siapa lagi yang mendorong agar
puisi-puisi yang tercecer dipublikasikan dalam bentuk buku. Termasuk para pengelola
tradisi Sastra Reboan, satu cara lain lagi yang juga penting.
Bagaimanapun, publik puisi—sastra kadang kala
perlu juga disapa tidak sekadar say hello.
Lebih daripada itu, tegur-sapa secara konkret, penting artinya agar publik pun
dapat pula menikmati karya-karyanya dan tentu juga melihat posisinya dan
mungkin juga memberi inspirasi. Tetapi, ketika kita hendak memetakannya,
pertanyaan lain patut diajukan: apakah ia cuma selembar penggembira yang
bersikukuh menghadirkan kehebohan; sekadar hendak menambah deretan nama; sebagai
panggilan jiwa dengan niat menyumbangkan sesuatu pada kebudayaan; atau ada
kesadaran lain untuk menyampaikan problem sosial dengan cara yang juga lain.
Atau lagi, ada konsep estetik yang hendak ia tawarkan.
Baiklah, mari kita memasuki Air Mata Topeng sebagaimana yang
dipesankan penyelenggara acara Sastra Rebona ini.
***
Air Mata Topeng memuat 102 puisi yang
disusun secara samabruk.[4]
Tentu saja siapa pun punya hak menyusunnya dengan cara apa pun. Meski begitu,
patut dipertimbangan cara penyusunan tematik atau kronologis, agar pembaca
tidak terlalu sulit mencari benang merahnya. Bagaimanapun, pembaca kerap
digayuti horison harapan. Tambahan pula, permainan puisi tidak jatuh pada
deskripsi atau narasi panjang lebar tentang sesuatu yang hendak disampaikannya.
Puisi sangat mempertimbangkan kehematan bahasa, sebab yang dihadirkan puisi,
bukan model cerita atau berita, melainkan citraan (image) dan asosiasi. Maka, perkara majas (diksi) dalam puisi
menjadi penting. Lewat pemilihan diksi itulah saklar asosiasi dan citraan
pembaca dihidupkan. Ia akan berjuang mencari cantelan, teks dengan dunia di
luar bahasa. Oleh karena itu, teks puisi yang ringkas, padat, dan kemas itu, dalam
benak pembaca dapat menghadirkan berbagai peristiwa atau sekadar menampilkan
suasananya belaka atau hal lain sesuai dengan pengalaman dan wawasan pembaca
sendiri.
Air Mata Topeng (AMT) kita telusuri
sebagai semacam simpang-siur gagasan yang kita sebut sebagai tema. Meskipun
demikian, tema apa pun dalam karya sastra, dapat dikatakan penting tidak
penting. Sebab, yang utama di sana adalah bagaimana menyajikan, mengemas, dan
mengolahnya menjadi bagian integral dengan keseluruhan teks. Sebut saja,
misalnya, puisi “Sebutir Garam di Secangkir Air” yang ditempatkan di awal buku
ini.
Sebutir
garam yang tergeletak di dalam secangkir air
Tidak
merasa tersesat, di ruang yang kecil dan penat
Tapi
mengapa harus bermukim di kedalaman?
Siapa
yang berkhianat? Bukankah garam harus membagi
Dengan
gula dalam sebuah pertemuan yang kekal
Atau
hanya berjalan di arah yang berbeda, timur atau barat
Sebutir
garam tak ingin mencium laut
Karena
napas asinnya, telah dilempar ombak
Ke
tepian, ke sebuah pantai yang kehilangan air mata
Sambil
terisak, pepohonan mangrove meminta
Musim
untuk kembali pada waktu yang melahirkan
Semacam
reinkarnasi cahaya yang muasal, sebuah matahari
Yang
menjadikan laut, bening dan hanyut.
Bagaimana
kita merumuskan tema puisi itu? Kisah tentang garam atau apa? Di sinilah
permainan puisi sering kali tidak seperti menyusun puzzle atau teka-teki silang yang cara pengisiannya diisyaratkan
oleh beberapa huruf yang tersedia dalam kotak. Meskipun begitu, personifikasi garam menghidupkan saklar asosiasi kita
pada analogi: manusia dablek yang
tidak tahu diri: sudah tahu tersesat dalam sebuah komunitas, tetapi tokh malah asyik-masyuk
menikmati ketersesatannya. Malah, boleh jadi lebih dari itu. Jika begitu, tidak
jelas lagi, siapa yang berkhianat pada siapa. Apakah yang berkhianat itu
manusia yang tersesat itu atau komunitas yang menerimanya?
Dalam
kehidupan sosial-politik, peristiwa semacam itu bertebaran di depan mata kita.
Orang-orang yang sadar dengan ketersesatannya, tetapi ia tetap kumeukeuh, jumud dan kopeg. Dalam konteks puisi itu, penyair
tidak hendak menilai baik-buruk. Cukuplah ia mengisyaratkan ciri-cirinya. Dalam
puisi, karakteristik itu, tentu perlu dihadirkan, tidak sebagai deskripsi atau narasi,
melainkan sebagai metafora. Para munafikun
atau orang yang semacam itu, cenderung ingin menutupi masa lalunya, habibat
aslinya, asal-usulnya. Maka, analogi garam, diungkapkan secara metaforis
sebagai: Sebutir garam tak ingin mencium
laut.
Ternyata,
duduk perkaranya tidak berhenti sampai di sana. Ada laut, pantai, rawa, dan
pepohonan mangrove dan matahari/Yang menjadikan laut, bening dan hanyut.//
Begitu jauhkah penafsiran ini? Boleh jadi ada tafsir lain dengan analogi yang
juga lain. Inilah mukjizat puisi. Ketika penyair memberi sinyal, mengisyaratkan
sesuatu, saklar asosiasi pembaca seperti diklik, lalu melayanglah imajinasi dan
citraannya ke mana-mana.
Kesimpulannya:
puisi itu mengangkat tema kemunafikan seseorang yang berakibat pada peristiwa
yang lain. Lalu, apanya yang istimewa dari puisi itu?
Boleh
jadi tafsir itu tidak sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penyairnya: intentional fallacy, maksud penyair
begono, ditafsirkan begitu. Ya, itulah miracle
sebagai percikan mukjizat tadi. Jangan lupa: hakikat puisi adalah citraan, dan
metafora adalah salah satu alat permaiannnya. Dengan cara begitu, pembaca tidak
disuguhi berita an sich, melainkan
pesan estetik, kesadaran untuk menikmati permainan metafora itu.
Bagi saya, penyair sejati, penyair yang
sebenar-benarnya penyair adalah mereka yang tidak perlu menyemburkan kosa kata
kebun binatang atau membeberkan isi toilet. Cukuplah dengan sentuhan estetik,
tokh dengan demikian, kita (: pembaca) dibuat ngeh, sadar: bener juga ya.
Jadi, untuk menggambarkan barang siapa yang munafik, cukuplah dengan
perbandingan laksana sebutir garam itu.
Cuma sebutir! Tak tahu diri dan tak penting. Bukankah dalam puisi itu tidak ada
caci-maki yang artifisial, bahkan juga penyair tak hendak melakukan penilaian
terhadapnya. Lewat puisi itu, kita (: pembaca) jadi ‘terpaksa’ berpikir,
berjuang mencari maknanya. Tepat atau salah, bukan di situ duduk soalnya,
melainkan proses berintegrasi dengan teks yang lalu memunculkan tafsir.
Bukankah
penggambaran seseorang yang munafik itu jadi terasa ‘sesuatu banget’, keren,
dan menunjukkan kepiawaiannya dalam memperalat bahasa. Puisi jadinya mengajari
kita untuk mencari dan menemukan makna (kata) sampai ke putih tulang, begitu
pesan Chairil Anwar.
Tentu saja analisis tentang puisi itu sekadar
selintasan belaka dan belum mengungkapkan banyak hal. Tetapi mengingat puisi
itu ditempatkan sebagai pintu masuk AMT, kita boleh menafsirkannya sebagai
isyarat. Bagaimanapun, penyair (yang bener)
niscaya punya kesadaran untuk memilih puisi mana yang hendak ditempatkan di
awal. Tetapi, lantaran itu pula, horison harapan[5]
kita memunculkan ekspektasi. Adapun ekspektasi itu berkaitan dengan beberapa
hal berikut:
(1) Tema yang berkaitan dengan kritik sosial.
Puisi yang dibincangkan tadi, jelas sebagai bentuk kritik. Jadi, ada harapan
bahwa model puisi itu dapat kita jumpai lagi dalam puisi-puisi lainnya.
(2) Adanya bentuk pembaitan dan permainan enjambemen, yaitu pemenggalan frasa,
klausa atau kalimat dalam larik untuk membangun efek bunyi atau permainan
diksi. Puisi “Sebutir Garam di Secangkir Air” tampak dibangun dengan
kesengajaan memainkan pola enjambemen,
sebagaimana yang dapat kita cermti pada larik akhir: “Yang menjadikan laut, bening dan hanyut” sesungguhnya bagian dari
larik … Sebuah matahari … Lengkapnya:
Sebuah matahari yang menjadikan laut,
bening dan hanyut.
(3) Yang belum disinggung dalam pembicaraan puisi
tadi adalah apa yang disebut paradoks,
yaitu pernyataan atau penggambaran atau apa pun, yang tampaknya bertentangan,
tetapi mengandung kebenaran. Sebutlah judul buku ini: Air Mata Topeng. Ini sebuah paradoks. Bagaimana mungkin topeng
mengeluarkan air mata? Betul, topeng mustahil mengeluarkan air mata, tetapi
topeng itu digunakan seseorang. Nah, seseorang itu, sudah ia memakai
topeng—sebagai penyembunyian wajah (: karakter aslinya), ia masih juga
mengelabui lewat air mata. Jadi, jika dikaitkan dengan puisi “Sebutir Garam di
Secangkir Air” sasaran kritik pada seseorang yang munafik itu, ia dobel
munafik. Air mata topeng dapat kita tafsirkan sebagai seseorang yang berbohong
untuk menutupi bohong pertama.
Pada
ketiga hal itulah, horison harapan itu memunculkan ekspektasi. Mari kita
telusuri!
***
Sebagai
sebuah buku puisi dengan judul yang begitu metaforis, Air Mata Topeng dan dengan penempatan puisi pertamanya “Sebutir
Garam di Secangkir Air” yang ‘sesuatu banget’ tidak berlebihan kiranya jika
horison harapan itu memunculkan ekspektasi. Sebagian besar puisi AMT memang
menampilkan tema-tema kritik, tetapi tidak sedikit yang sekadar refleksi diri,
kerinduan pada tuhan, pengamatannya pada peristiwa, dan seterusnya. Jadi, ada
begitu banyak tema yang memaksa kita seperti melompat-lompat, dari gagasan yang
satu ke ggasan yang lain, dari peristiwa yang satu ke peristiwa yang lain.
Periksa “Amsal Kupu-Kupu 1” yang membawa aku
lirik bercermin pada kehidupan kupu-kupu. Ini semacam perjalanan hidup manusia
yang kadang kala mirip nasib kupu-kupu. Tetapi, “Amsal Kupu-Kupu 2” lebih
sebagai tamsil pada kehidupan wanita malam. Perhatikan larik awal “Amsal
Kupu-Kupu 2” yang mengisyaratkan perempuan malam. Kupu-kupu dekat dengan malam. Meskipun malam selalu berkebaya hitam,
kupu-kupu/selalu mengepakkan sayapnya
di putik kelam/. Sebagai puisi yang berdiri sendiri, tanpa ada kaitan
dengan puisi lain, puisi “Amsal Kupu-Kupu 2” menunjukkan kualitas penyairnya
yang piawal dalam bermain dengan metafora. Kita tidak menemukan sesuatu yang
kotor dan pekat di sana, tetapi kita merasakan sebuah empati yang mendalam
tentang kisah itu.
Cermati juga puisi “Malam Tahun Baru” dan
“Doa Seorang Anak”. Puisi yang disebutkan pertama cenderung sebagai refleksi,
bahwa di tengah kemeriahan orang menyambut tahun baru, ada seorang ayah yang
kesepian merenungi anaknya. Ada paradoks tentang peristiwa di luar (kemeriahan
tahun baru), dan suasana di dalam (batin si ayah). Tetapi, dalam puisi “Doa
Seorang Anak” ada semacam kontradiksi antara aku (sang ayah) dan aku (sang
anak). Lalu apa pula makna bentuk tipografi itu dalam konteks doa seorang anak.
Meskipun beberapa puisi yang disinggung tadi
tidak mengurangi nilai etetik dirinya sebagai puisi, mereka menimbulkan
persoalan ketika kita mengaitkan puisi yang satu dengan puisi yang lainnya.
Setiap puisi khas dan unik yang berbeda dengan puisi lainnya, begitu fatwa
pakar puisi seperti Cleant Brooks dan para penggagas kritik baru Amerika.
Meskipun demikian, sebagai sebuah buku antologi, kekompakan hubungan
antarpuisi, patutlah kiranya jadi bahan pertimbangan serius. Bagaimanapun,
sebuah buku antologi puisi atau cerpen, yang diterbitkan dengan kesungguhan
menampilkan sesuatu yang tidak sekadarnya, berbagai pertimbangan non-teknis itu
sering kali mempengaruhi nilai keseluruhan buku itu. Bukankah sebuah buku
menampilkan sebuah wacana, dan bukan serpihan-serpihan tema yang terserak lalu
dikumpulkan menjadi satu kesatuan?
Hal kedua yang menjadi salah satu kekuatan Irawan
Sandhya Wiraatmaja adalah kesadarannya bermain enjambemen. Ia tidak hanya memanfaatkan enjabemen dalam hubungan antarlarik, melainkan antarbait. Maka,
tidak perlu heran jika dalam larik terakhir sebuah bait, kita menemukan kata
yang seolah-olah menggantung. Dalam kasus tertentu, permainan itu berhasil,
tetapi dalam kasus lain, kadang kala jadi terkesan royal. Jangan lupa: fungsi enjabemen salah satunya untuk membangun
kesamaan bunyi atau kekuatan pemaknaan sebuah larik. Pengabaian dalam perkara
itulah yang dalam beberapa puisi, malah mengganggu. Lihat misalnya, larik
terakhir puisi “Amsal Seekor Semut” dalam hubungannya dengan larik di atasnya.
Pola enjabemen
seperti itu, di satu pihak memunculkan tafsir yang ambigu, tetapi di pihak
lain, memasukkan pembaca ke lorong gelap. Di sinilah, perlu ada kata atau frasa
atau kalimat tertentu yang berfungsi sebagai sinyal atau isyarat atau lanjaran
yang memungkinkan pembaca dapat masuk dan berintegrasi dengan tubuh puisi.
Hal ketiga yang secara keseluruhan
menunjukkan semacam karakteristik puisi-puisi Irawan Sandhya Wiraatmaja adalah
adanya kekuatan paradoks. Hampir keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku
ini dibangun dengan semangat itu. Ia bisa hadir dalam larik atau dalam tema
puisi. Meski begitu, tidak jarang pula, penyair sekadar mewartakan pengamatan
pada peristiwa atau kesan tertentu, padahal ia masih berada dalam rangkaian
puisi yang bersangkutan. Periksa misalnya, puisinya yang berjudul “Air Mata
Topeng”. Di sana ada tujuh puisi yang berada di bawah judul itu—i)—vii).
Keseluruhannya—kecuali puisi iii)—mengungkapkan berbagai persoalan kehidupan
kita yang sering kali tidak dapat menghindari dari paradoks.
Paradoks
yang dapat kita tangkp dalam sejumlah besar puisi Irawan dalam AMT ini, bagi
saya, tampak dibangun dengan cara yang agak khas. Juga dengan metafora yang tak
lazim. Maka, tidak perlu heran pula jika kita menjumpai metafora yang terkesan
menabrak logika: seperti detik yang pucat,
sepi yang jauh, waktu yang tersesat, batu-batu
karang tempat berenang, jam museum
tutup, jam museum membuka, dan
seterusnya.
***
Secara
keseluruhan, menikmati buku antologi AMT, kita seperti dihadapkan pada
serangkaian paradoks yang nyeleneh, metafora yang tak lazim, atau frasa yang
kadang menabrak logika. Tentu saja segalanya diizinkan. Dan kita (: pembaca)
menerima begitu saja AMT sebagaimana adanya. Oleh karena itu, bersiap saja kita
menerima kegembiraan bertemu dengan puisi-puisi yang terasa sebagai ‘sesuatu
banget’ atau ngegerundul lantaran
merasa dijebloskan pada lorong gelap, atau lagi, merasa getun lantaran kita merasa memahami, tetapi sulit mengungkapkan,
sebab yang muncul di sana adalah suasana peristiwa, dan bukan peristiwa itu
sendiri. Jika kita berhadapan dengan puisi yang membawa kita ke lorong gelap
atau puisi yang menampilkan atau yang disebutkan terakhir itu, nikmati saja.
Tokh puisi tidak harus selalu dapat dimaknai, cukup dirasakan, dan selepas itu
… terserah Anda.
Akhirnya,
mesti kita sadari, puisi ya puisi! Boleh dilacak maknanya atau cukup dirasakan
saja suasana yang dihadirkannya. Begitulah puisi. Ia sebuah miracle yang memancar dari mukjizatnya
yang ajaib, gaib, dan absurd!
[1] Eenst Ulrich Krazt, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam
Majalah: Drama, Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press,
1988, hlm. 558—559.
[2] Sekadar contoh,
penyusunan buku-buku sejarah sastra Indonesia yang dilakukan A. Teeuw, Ajip
Rosidi, Zuber Usman, Slametmuljana, dan seterusnya mengabaikan karya sastra
yang tersebar di berbagai majalah dan surat kabar. Akibatnya, sejarah sastra
Indonesia hadir ke hadapan kita secara compang-camping.
[3] Penyair Isma Sawitri
adalah satu contoh kasus. Ia penyair penting yang oleh H.B. Jassin dimasukkan
sebagai sastrawan Angkatan ’66. Puisi-puisinya tersebar di berbagai media massa
dan beberapa buku antologi puisi bersama, tetapi sampai kini, kita tidak
menjumpai buku antologi puisi tunggalnya.
[4] Samabruk (bahasa Sunda): semua asal masuk, tanpa usaha melakukan
klasifikasi atau pembagian, baik secara tematis maupun secara kronologis.
[5] Horison harapan di sini
tidak dimaksudkan dalam konteks sastra populer atau film-film Bolywood yang
menyangkut unsur intrinsik atau berkaitan dengan nasib tokoh, melainkan model
estetik dalam menyampaikan tema apa pun dalam keseluruhan puisi yang terhimpun
dalam AMT. Dalam sastra populer atau film-film Bolywood, pembaca atau penonton
sering kali tidak dapat menyembunyikan harapannya, agar di akhir cerita, tokoh
utamanya berbahagia. Tujuannya memang hendak memanjakan selera pembaca atau
penonton.